31 Oktober 2013

INDONESIA SIAGA KONFLIK LAUT CINA SELATAN

 
Asumsi publik yang miris, sinis dan getir akan geliat serta hiruk-pikuk politik super glamour menjelang 2014 ini tentu terasa wajar jika melihat banyaknya kekuatan luar (asing) turut bermain, baik secara langsung maupun tak langsung terhadap dinamika politik di Indonesia saat ini. Berat hati rasanya mencerna logika jika menemukan korelasi makna pesta demokrasi itu sendiri bagi kepentingan nasional NKRI. Apalagi dengan adegan carut-marutnya situasi perkembangan politik menjelang suksesi 2014. Embuh piye critane, embuh syalala waelah enake. Celakanya, disaat para politisi asyik beradu akting didepan kamera TV, tak terasa sedikit demi sedikit moncong senapan para perompak minyak semakin mendekati halaman negeri. Padahal, sejarah banyak membuktikan
bahwa dimana sebuah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah maka kemungkinan chaos akan lebih mudah terjadi. Bahkan akan mudah ditemukan konflik yang kadang tak jelas asal muasal juga duduk perkaranya (tunjuk hidung saja dengan tegas, Konspirasi Asing).  Jika disekitar tanah air ini telah sering menunjukkan tanda dan gejala tersebut, maka bersiaplah. Artinya, episode perang akan  dimulai sesaat lagi dihalaman negara tercinta ini. Siapkah ??
Konon, konflik lokal adalah bagian dari konflik global. Sekali lagi ini asumsi yang kiranya sulit untuk dipungkiri. Seperti analisa tentang bagaimana politik praktis bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Begitu dan seterusnya sebagai sebuah mata rantai pemaknaannya.

Melihat perkembangan konstelasi politik baik tingkat nasional, regional dan global yang semakin memanas, maka terkait isu yang berkembang di kawasan hendaknya tak selalu ditepikan oleh para elit politik serta pengambil kebijakan untuk mewaspadai isu-isu di perbatasan terutama wilayah “konflik” atau “rawan konflik”, serta daerah-daerah yang belum selesai proses kebangsaannya pasca gejolak politik di masa-masa lalu. Berkaca atas temuan-temuan politis saat terjadi ethnic cleansing di Rohingya, atau kembali pada kejadian didalam negeri seperti konflik antar suku di Lampung Selatan, konflik aliran dalam agama di Sampang, gesekan penganut keyakinan di Puger serta insiden kemasyarakatan lainnya selalu dipicu oleh modus-modus seragam yaitu pelecehan seksual, konflik SARA yang disertai pengusiran, perpecahan, konflik kelompok kemasyarakatan hingga bentrok antar kampung yang berdekatan letaknya. Sejauh ini, adakah kejelian kita membacanya sebagai sebuah skema kesengajaan ? Atau merasakah para elite politik dan petinggi negeri mengartikannya sebagai ancaman persatuan dan kedaulatan NKRI secara terselubung ?
Sepertinya sedikit yang membaca arah kepentingan kapitalis meski jelas tersirat makna bahwa konflik-konflik yang terjadi di “jalur subur dan basah” sengaja dibuat oleh para aktor adidaya terkait kepentingan geopolitik seperti kajian modern Deep Stoat,  
“If you would understand world geopolitic today, follow the oil. Nah loh, jika ingin memahami geopolitik dunia hari ini, ikuti dimana ada aliran minyak. Woww, ckckckck......

Ketika banyak kalangan memperingatkan hal-hal buruk sanggup terjadi dengan tiba-tiba banyak pula kalangan yang menjadi penelikung dengan segala argumentasinya. Tentu dengan argumen menohok seolah kita adalah kumpulan orang-orang yang dilanda phobia kolonial dengan kapitalisnya. Padahal seperti skenario Papua pun sebenarnya bisa ditebak, ketika isu yang ditebar ialah kemiskinan, atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat dan lainnya maka menjadi lazim bahwa tema yang akan di usung berikutnya ialah:  
"Perlu hadirnya pasukan asing ke Papua, atau mendadak konsep ekstrim dengan wacana referendum ala mereka ".  
Silahkan tinggal pilih, mau rasa Indonesia raya atau tragedi Timor timur jilid kedua.
Demikian pula Aceh pasca perjanjian Helsinki, kini mulai ditabur “isu bendera” yang tidak sesuai nafas kebangsaan. Hahaha, tuan-tuan silahkan tengok nanti temanya apalagi yang akan muncul disana. Demikian juga tentang isu-isu disekitar Kalimantan utara, Ambalat dan daerah lainnya yang masuk lingkup Hot Triangel karena potensi kandungan minyak dan gas bumi yang luar biasa, heii.....Tuan, ini mutlak harus diwaspadai. Hentikan dulu berpatut-patut diri diruang publik. Kita ini bosan dengan retorika serta slogan munafik jelang pemilu kalian di 2014. Jangan menggeser pion media keranah ambigu dan cadel karena aspek kepentingan sesaat dan sesat. 
Tulis besar dengan huruf kapital, WASPADALAH !! BANGSA NAN KAYA INI DI INCAR SERIGALA ADIDAYA DAN PERSEKUTUAN KOLONIALISME BARU MEMBIDIK INDONESIA !!



Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan bukan sekedar political will tetapi political action dalam rangka melakukan kontra isue maupun kontra tema secara konseptual baik simetris maupun asimetris. Para elit dan pengambil kebijakan harus cerdas dan teliti agar tak ikut larut dalam lingkaran isue dan tema yang dimainkan oleh pihak asing dengan propaganda kerennya seperti HAM, jangan sampai SKEMA kolonialisme yang berupa penguasaan ekonomi dan perampokan berbagai sumber daya alam oleh asing justru kian menguat karena telah mengakar. Apakah kita tidak ada gugatan sama sekali ?
Ya, oleh anak segenap elemen dan anak bangsa tentunya. Tuding saja dengan pantas jika itu semua bisa terjadi dan menjadi akut karena elitnya sibuk bermain dan melayani sok arif di sekitar isu-isu dan tema-tema global saja. Move on lah !!
Konteks adanya “arus isu kecil” atau semacam isue bertitel sengketa perbatasan yang kini berserak di Laut Cina Selatan, bukanlah faktor tunggal yang tiba-tiba, namun semata-mata karena dorongan “Isu besar” yang berupa geopolitical shift atau pergeseran geopolitik global dari Jalur Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara lalu kini berpindah ke Laut Cina Selatan dan siap merambah Asia Tenggara secepatnya. Menurut Global Future Institute (GFI), ditengarai bahwa “Isu besar” itu berupa:


1. AS tengah membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara dan Cina, hal itu dinyatakan dengan memperluas fisik dan pengaruh militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia. Mudah saja mendeteksinya dengan melihat peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura serta Philipina. Dan yang mengejutkan ialah pergeseran 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik dengan level peningkatan kegiatan militer secara maksimum;


2. Melalui Menhan Leon Panetta, terkait dengan isue Laut China Selatan, AS mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015. AS menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum;



3. Pertikaian wilayah di Laut China Selatan, disinyalir bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau belaka, melainkan ada “persoalan lain”, selain hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), juga akibat dari kemampuan penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu sehingga faktor geostrategy possition dan potensi SDA pulau-pulau yang disengketakan menjadi dasar dari kompleksnya pertikaian berawal;


4. Urgensi geografis Laut China Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa karena solusi yang ditawarkan sengaja diabaikan karena kepentingan serta move-move politis global, bahkan isu konflik teritorial itu bisa dengan mudah menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka.


Ketika merebak skandal Amerika Serikat (AS) menyadap sambungan telepon dan memata-matai komunikasi dari kedutaannya di Asia, termasuk Indonesia, hal ini sempat membuat ketegangan itu berubah menjadi pola siaga militer hampir diseluruh negara yang telah di mata-matainya. Dikabarkan, Kedutaan Besar AS di Jakarta menjadi salah satu basis aktivitas penyadapan di Indonesia. Kemudian seolah tak terjadi apa-apa Indonesia secara arif melakukan nota keberatan namun diam-diam mengkonsinyir para agennya.

Seperti dilansir dari The Sydney Morning Herald, Rabu (29/10/2013), informasi aktivitas spionase ini berhembus dari Edward Snowden. Sang whistleblower internasional itu mengungkap peta 90 fasilitas mata-mata AS di seluruh dunia. Dari jumlah itu, tersebutlah nama kota Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh, dan Yangon. 

Namun sejak tahun 2010, peta itu tak menunjukkan fasilitas mata-mata AS di negara-negara sekutu seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Singapura.

Peta yang juga dipublikasikan oleh majalah Der Spiegel menunjukkan, 90 lokasi fasilitas spionase itu terdiri dari 74 lokasi yang dioperasikan langsung di tempat, 14 fasilitas dikendalikan jarak jauh, dan dua merupakan fasilitas pendukung teknis.

Kedutaan Besar AS di Bangkok menyimpan fasilitas pendukung teknis dan fasilitas yang dikendalikan jarak jauh. Di wilayah Asia Timur, aktivitas intelijen AS banyak bergerak di Republik Rakyat Cina. Fasilitas tersebut ada di Kedutaan AS Beijing dan Konsulat AS di Shanghai dan Chengdu. Ada pula fasilitas mata-mata di Kedutaan tak resmi AS di Taipei.

Di wilayah Asia Selatan, fasilitas intelijen ada di New Delhi dan Islamabad, India. Untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, ada 24 fasilitas semacam itu. Ditambah lagi ada sembilan fasilitas intelijen di wilayah Afrika Sub Sahara.

Masyarakat dan seluruh elemen bangsa tentu sangat berang dengan insiden ini. Pemerintah Indonesia diminta tegas menanggapi dugaan terdapatnya fasilitas penyadapan di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS), di Jakarta.
Direktur Hukum dan Advokasi Masyarakat Visi Indonesia, Akbar Kiahaly, tindakan Pemerintah AS tidak terpuji dan membahayakan hubungan kedua negara.

"Apabila pemberitaan ini benar, Pemerintah harus mengambil tindakan tegas untuk menyikapi hal ini. Indonesia juga patut mempertimbangkan sikap tegas dengan cara mengusir Duta Besar AS dan Australia keluar dari Indonesia. Sikap ini patut dipertimbangkan untuk diambil, dikarenakan penyadapan ini sudah sangat melanggar kedaulatan Indonesia. Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh AS, Inggris dan Australia sangat berbahaya bagi perekonomian, sosial politik, serta pertahanan keamanan bagi Indonesia."

Dalam laporan utamanya, Sydney Morning Herald juga menuliskan bahwa Kedutaan Australia di Jakarta memainkan peran penting untuk mengumpulkan data intelijen terkait ancaman terorisme dan penyelundupan manusia. Namun fokus utamanya adalah intelijen bidang politik, diplomasi dan ekonomi. 
Sedikit demi sedikit gemilang perbaikan industri pertahanan atau BUMNIS serta berdatangannya alutsista TNI mulai mengabur efeknya. Apa gunanya jika Indonesia telah telanjang didepan para calon pemangsanya ? Kemana BIN ? Kemana sikap mawas diri serta sikap berani dalam bersikap demi menjauhkan dikte terhadap kedaulatan NKRI
Apakah ini hasil kunjungan persahabatan yang justru melukai sahabat-sahabat lama bangsa Indonesia yang lainnya ?

Inikah alasan sekaligus jawaban dari kekesalan Rusia sehingga mereka sedikit berpaling dari rencana penguatan strategis militer Indonesia demi menunjukkan pada bangsa ini bahwa Rusia juga punya harga setara semahal Amerika.
Ya wajar, jika Rusia tiba-tiba bersikap lebih lembut pada negara asia tenggara lainnya. Toh Indonesia plin-plan dengan statement yang dicentang dalam program MEF -nya. Boleh jadi Rusia telah curiga jika Indonesia bukanlah negara aman dalam merahasiakan kemampuan tekhnologi militer tercanggih Rusia seperti kasus usaha pembedahan tekhnologi oleh para agen dan ilmuwan barat atas KRI Irian yang pernah sangat jaya dan ditakuti di era 60-an. Hal ini juga barangkali terjadi pada berkurangnya rasa seiman dan setia juga perhatian Iran karena menganggap Indonesia lebih suka berada dalam ayunan pujian negara-negara yang notabene sangat memusuhi Iran. Lalu siapkah kita disini menghadapi balada global ini sendiri ?
Barangkali TNI AL lebih bisa nyaring bersuara dengan segenap kerahasiaan dan kemisteriusan alutsistanya.

 
Tentu kita harus siap, sebab kita sebagai anak bangsa pejuang masih memiliki sikap kuat, semangat dan penghayatan yang lebih dari sekedar makna MERDEKA
SEBAB KITA SADAR SEUTUHNYA JIKA KEMERDEKAAN BANGSA INI BUKAN DARI HASIL MEMINTA-MINTA ATAU DIBERI OLEH BANGSA MANAPUN, TAPI SUNGGUH DARI HASIL PERJUANGAN DAN PENGORBANAN SELURUH RAKYAT INDONESIA.
Nah artinya jawaban kita adalah SIAP MEMBELA KEDAULATAN BANGSA, NKRI HARGA MATI.....


Namun drama satire ini baru saja dimulai dan sudah menyuguhkan realita. Hal ini muncul ketika TNI AU mengadakan latihan tempur bertajuk Angkasa Yuda 2013 lalu. Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu Dunia mengatakan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu dari 12 pulau terluar milik Indonesia. Natuna memang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Vietnam. Karena berada di Laut Cina Selatan, posisi Natuna juga terbilang strategis. 
"Untuk menjaga Natuna, TNI AU punya Landasan Udara Rinai dan juga radar pengawas."

Namun, Putu Dunia menyebut ada fakta unik dari Natuna. Berdasarkan wilayah darat, Natuna memang milik Indonesia, tapi wilayah udara Natuna masuk dalam kontrol Singapura. Nah loh...
Bahkan, ketika TNI AU mengadakan latihan tempur bertajuk Angkasa Yuda 2013, mereka harus melaporkan kegiatan udara ke Singapura. Tujuannya agar lalu lintas pesawat-pesawat tempur Indonesia tidak bersinggungan dengan pesawat komersil yang diatur oleh Singapura.
Meski petinggi TNI AU optimistis hal ini bukanlah gangguan berarti dengan alasan koordinasi antara Indonesia dan Singapura cukup lancar. Tapi inilah faktanya, kita tak berdaulat diangkasa raya Indonesia. Tentu kita pantas mengkhawatirkannya.
Kita semua berharap, bahwa suatu saat nanti pengaturan wilayah udara di Natuna dan sekitanya berada di bawah Indonesia. Sebab, dari sisi pertahanan juga lebih aman untuk kita. 
Panglima Komando Operasi TNI AU I Marsekal Muda M. Syaugi menjelaskan bahwa saat ini sudah ada aturan berupa FIR atau flight information regions untuk memperjelas batas kewenangan Indonesia dan Singapura di langit Natuna. 
 
" Intinya udara milik Indonesia tetap menjadi kuasa Indonesia. Begitu pula dengan negara Singapura. Jadi ada batas antarnegara. Jadi, intinya tetap NKRI harga mati. "

Istilah pengendali udara Natuna dan sekitarnya di tangan Singapura hanya masalah radar semata. Singapura, punya radar udara, baik militer maupun komersil hingga wilayah Natuna. Syaugi berharap pemerintah lebih memperhatikan Natuna. Semisal dengan memperbaiki infrastruktur dan bandar udara.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro tak mau berkomentar banyak soal kekuasaan Singapura di wilayah udara Natuna. Menhan hanya mengatakan bahwa untuk urusan penerbangan komersil sepenuhnya urusan Kementerian Perhubungan. Dijelaskan bahwa, Kementerian Perhubungan belum siap mengatur lalu lintas udara di sekitar Natuna, baik dari sisi sumber daya manusia hingga peralatan.
"Itu yang kami tangkap dari Kementerian Perhubungan, Tapi kalau dari sisi kedaulatan, Natuna kami jaga setiap waktu."


Boleh jadi hal ini telah menjadi sentakan halus bagi para petinggi militer Indonesia, bahwa kita belum apa-apa untuk melindungi secara utuh kedaulatan bangsa. Dan bisa dipahami bersama jika itu tak lepas dari situasi ekonomi kita yang sedang dalam penyempurnaan. Patut diapresiasi sikap tanggap itu menjadi sebuah keinginan lebih dari para pemegang kekuasaan dan kebijakan di negeri ini. Kongkritnya,
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan pemerintah berencana menambah alat utama sistem persenjataan TNI Angkatan Udara berupa radar. Menurut Purnomo saat ini radar pemantau khusus militer di Indonesia terutama ujung barat Indonesia dan bagian Timur masih kurang.

"Kekurangannya kami hitung sekitar 32-34 unit radar di seluruh Indonesia. Sementara ini untuk menutupi kekurangan radar militer kami kerjasama dengan radar sipil di seluruh Indonesia."

Setidaknya untuk rencana strategis tahap pertama, yakni 2009-2014, Kementerian Pertahanan setidaknya harus membeli empat unit radar baru primer atau khusus militer. Kementerian pun sudah memperhitungkan pembelian empat radar baru ini seniali US$ 150 juta.

Radar militer atau primer, tentu berbeda dengan radar penerbangan domestik atau sekunder. Jika radar sekunder tidak akan bisa memantau pesawat terbang yang sengaja mematikan transmiter radarnya. Sementara radar primer bakal mencatat segala jenis pesawat yang terbang asalkan bahan bakunya logam.

Dalam modernisasi alutsista TNI ini, Kementerian Pertahanan memang mengutamakan pembelian senjata-senjata bergerak. Alutsista itu seperti pesawat tempur, pesawat angkut, dan helikopter.

Usaha Kementerian pun telah berwujud dan tercapai. Saat ini Kementerian telah melakukan sejumlah pembelian pesawat, meski ada sebagian yang belum dikirim ke Indonesia. Sebagai contoh, pesawat hibah dan 'up-grade' F-16 berjumlah 24 unit, Super Tucano sebanyak 16 unit, dan T50 Golden Eagle sebanyak 16 unit. Dan semuanya dalam proses pemenuhan dan pengiriman.

Karena pembelian alutsista bergerak TNI AU hampir rampung, maka selanjutnya Kementerian Pertahanan bisa fokus membangun kekuatan alutsista tak bergerak seperti radar. Mengenai jumlah pasti, pihak kemenhan belum bisa menentukan. Hanya disebutkan pembelian radar akan dilakukan bertahap, tergantung kemampuan anggaran dan cara pembayaran yang ditangani Kementerian Keuangan dan Bappenas.

Hal ini tentu sedikit melegakan tentunya sebab radar militer baru dibutuhkan bukan hanya keperluan disekitar angkasa Natuna dan wilayah Timur Indonesia saja, tapi juga wilayah perbatasan negara. Sebagai contoh Lanud Ranai, Natuna, punya radar militer buatan Prancis. Radar ini mampu menangkap gerak-gerik pesawat berjangkauan 240 mil atau 540 kilometer. Pulau Natuna sendiri berada di ujung Barat Laut Indonesia. Pulau ini berada di Laut Cina Selatan dan berdekatan dengan Vietnam, dan Malaysia.

Di kancah darat TNI, melaporkan hingga akhir 2014, pemenuhan alat utama sistem senjata baru TNI AD mencapai 15 persen dari peralatan yang dimiliki.

Rasio penggantian alusista tidak hanya bertumpu pada alutsista tempur melainkan juga alat komunikasi dan intelijen. Saat ini, TNI AD sedang berupaya untuk menghadirkan satelit yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi namun juga difungsikan sebagai satelit pengintai.

Dijelaskan khusus satuan Infantri AD, hampir semua peralatan maupun persenjataan sudah menggunakan produk dalam negeri. 

TNI AD juga mampu mengembangkan peralatan maupun persenjataan dari kesatuan lain untuk dibuat di dalam negeri. TNI AD juga mencoba melakukan riset dengan berbagai universitas yang dilakukan direktorat peralatan, perhubungan, zeni, kesehatan dan perbekalan. Dalam waktu dekat, riset tersebut diharapkan dapat menghasilkan alat bantu yang bisa digunakan bagi TNI AD. 

Semoga saja.....sebab keharusan sebuah negara adalah melindungi kedaulatannya. Dan benar, tak ada jaminan perdamaian yang mutlak didunia ini. Jika kita ingin damai, maka bersiaplah untuk PERANG.

 
Mari kita lawan lupa bahwa, pola kolonialisme baik asimetris (non militer) maupun simetris (militer) yang sering dimainkan oleh Barat sangat kentara pasca ditebar isue aktual. Dari hal itu akan timbul tema, baru setelah itu skema kolonial muncul belakangan. Dan lazimnya skema kolonialisasi dimanapun ujungnya adalah: "penguasaan pilar ekonomi dan pencaplokan SDA". Lihat saja Perang Irak (2003), setelah ditebar isue senjata pemusnah massal, dilanjutkan dengan tema “invasi militer” oleh AS dan sekutu, sedang skema yang terlihat pada akhirnya adalah kapling atau jatah bagian pengelolaan sumber daya alam oleh negara-negara yang terlibat andil invasi militer ke Negeri 1001 Malam itu. 
Inilah pola simetris. Sedangkan model asimetris biasanya lebih samar dan halus. Misalnya yang dilakukan badan-badan keuangan mereka atau isu semacam virus atau flu burung di sejumlah wilayah (negara), maka tema yang akan dimunculkan adalah resesi ekonomi, krisis perbankan, daging mahal atau daging langka, kemudian skema yang ditancapkan ialah jerat hutang dan impor bagi negara-negara yang di incar.
Dalam diskusi terbatas para pakar geopolitik dan dosen di berbagai perguruan tinggi Indonesia, terkuak sebuah skema bahwa Sabah – Philipina - Kalimantan Utara disebut Hot Triangel dan diplot sebagai daerah yang memiliki potensi minyak dan gas alam yang sangat melimpah ruah. Ambalat tentulah masuk pada titik mata tersebut. Yang perlu kita pahami dan menjadikan ini sebuah kewaspadaan yakni selain ancaman Malaysia terhadap Ambalat semata-mata karena what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan, bahwa mapping konflik dari kolonialisasi yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan segaris/satu rute bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam di dalamnya) pulau dimaksud, juga adanya hipotesa bahwa pemekaran Kalimantan Utara ialah pintu awal dari modus kolonialisasi pemindai konflik Moro, atau konflik Sabah ke Kalimantan Utara. Padahal semua tahu siapa yang lebih dulu mengawali konflik di Moro?
Dan kita juga akhirnya menjadi tahu siapa pula yang mengakhirinya.

Geopolitik Sabah memang menggiurkan. Free Malaysia Today memberitakan, tahun 2011 ia memiliki cadangan minyak 1,5 miliar barrel, sedangkan cadangan gas alam tercatat 11 triliun kubik. Telah diketemukan beberapa sumber minyak dan gas baru di Sabah yang diperkirakan kian menambah tinggi cadangan minyak dan gas Malaysia. Dengan dikelola Petronas yang berdiri tahun 1974 dan juga dimiliki oleh pemerintah federal. Dalam sebuah perjanjian yang ditanda tangani tahun 1975, diketahui royalti yang dihasilkan sebesar 5% dari nilai kotor produksi minyak. Di tahun 2011 saja, Petronas meraup keuntungan atas penjualan minyak Sabah senilai RM 15 miliar atau sekitar Rp 47 triliun.Angka yang fantastis dan layak dikatakan pantas untuk dijadikan bahan perebutan dan arena bermain bagi konflik yang dipersiapkan oleh siapapun yang memiliki kepentingan.
 

Bertolak dari sebuah kajian dan menjadi renungan, semoga Indonesia mampu berjaya dengan tekad digdaya agar selalu menjadi suatu keniscayaan dalam melindungi aset dan teritorial negara tercinta INDONESIA.....

1 komentar:

  1. Hanya Pemimpin yang memiliki kecintaan yang besar pada Bangsa Negara yang akan menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang Berdaulat serta Bangsa yang Bermartabat!

    BalasHapus