30 Agustus 2013

PESAN DALAM TEROR PENEMBAKAN POLISI

Miris, hanya kata ini yang bisa terbayang manakala  terdengar aksi penembakan, teror dan penyerangan terhadap institusi ataupun personel bhayangkara negara. Eskalasi kejadian yang cenderung meningkat dan menimbulkan banyak kerugian material hingga korban jiwa. Sungguh hal yang sangat memprihatinkan sekaligus teror mental kepada rasa aman dan stabilitas kamtib sosial kemasyarakatan dengan pesan singkat kengerian nasional. Ada apa sebenarnya ?  Lalu apa latar belakangnya ? Apa motifnya ? Kemana tujuannya ? Kompleks dan beragamnya peristiwa dan permasalahan yang dihadapi republik ini tentu membuat para pemerhati berhati-hati menganalisa dan cenderung berusaha stabil dari opini sempit seperti sebuah serangan gerilya sekelompok teroris atau sedikit dari mereka berani membuka kran tentang peluang motif sebuah konspirasi tingkat tinggi.
Terbersit rentetan kejadian yang terklip sebagai mainan praduga dalam ingatan semenjak berdirinya republik ini dan kejadian-kejadian yang mengikuti berdirinya institusi bhayangkara negeri bernama POLRI. Mungkinkah ini benar-benar sebuah skenario besar yang dipersiapkan entah oleh siapa sehingga siluet tentang sebuah revolusi dinegeri ini terlukis seperti sebuah bagian dari motif-motif lain yang bermunculan. Admin hanya lebih sederhana berpikir, teringat sedikit dengan sebuah film hollywood yang kebetulan telah tayang dan masih terngiang judulnya, " THE BLITZ ". Berikut sinopsisnya :
Brant seorang detektif yang mendapatkan tugas untuk mencari tahu siapa pembunuh misterius yang membunuh polisi-polisi. Misi kali ini ini dia dibantu oleh Potter Nash yang notabene seorang detektif metroseksual. Brant menyelidiki kasus yang disebut dengan The Blitz dengan begitu teliti dan cermat. The Blitz tersebut melakukan pembunuhan secara massal terhadap para polisi karena mau membalaskan dendamnya dahulu. Ternyata The Blitz punya pengalaman buruk yang membekas hatinya hingga dendam kepada polisi-polisi tersebut. Cerita lain, seorang polisi wanita yang bernama Elizabeth Falls memiliki masalah dalam hidupnya. Brant menyarankan Falls untuk menemui Craig Strokes karena dia orang yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya tersebut. The Blitz ternyata tidak tinggal diam, dia semakin merajalela membasmi para polisi. Bahkan nyawa Falls hingga Brant terancam di tangan seorang The Blitz.
Motif yang muncul di film ini tentu terlalu sederhana jika menjadi pemicu sebuah serangan frontal, brutal dan cenderung membabi buta oleh pelaku, tapi setidaknya ada alasan yang terkesan " dendam " dan " kebencian akut " terhadap semua sosok dibalik seragam polisi. Tentu gambaran yang mudah dari seorang sutradara daripada harus menggambarkan sebuah keruwetan alur  konspirasi atau hendak mengembeli dengan makna-makna badut seperti thagut, jihad atau rencana makar terhadap republik ini oleh segelintir cukong politik dalam firma-firma kolusi, korupsi dan nepotism. Mbuh syalala ajaa....Jadi enggak kebayang nih ruwetnya alur ceritanya nanti bagi sang aktor dan penonton  hahahaha :)
Walhasil dibenakku, ini lebih mudah jika dikaitkan dengan kartel narkoba, efek perang polisi terhadap premanisme, dendam pelaku kejahatan, geng motor atau penembakan warga sipil seperti kasus Tito Kei, LP Cebongan (konon akibat polisi menitipkan korban ke lapas sehingga mereka bisa dieksekusi) atau benarkah ini teror atas nama keadilan semesta bagi rakyat yang ditujukan kepada aparat ??  Buncah puncak keputus asaan atau ketidak percayaan masyarakat terhadap para penguasa dan melampiaskannya terhadap simbol-simbol negara ??  Kenapa Polisi yang menjadi sasarannya ?? Barangkali terlintas dibenak pelaku jika polisi adalah sasaran mudah, lemah, terkesan individualis dan mudah ditemukan dijalanan dan dapat dijadwalkan keberadaannya ketimbang aparat (tentara) lainnya.  Dan yang mencengangkan coba deh simak rating pamor polisi belakangan ini dimata pengguna jejaring sosial, bahkan mereka yang masih beliapun ketika berinteraksi di Socmed ketika mendengar isyu seputar polisi maka mereka akan mudah mengeluarkan cercaan, makian dan stigma buruk korps bhayangkara. Barangkali inilah yang menginspirasi pelaku teror pada polisi. Mendapatkan keuntungan dari gaung pro dan kontra pada opini masyarakat tentang aksi penembakan itu dengan ikon-ikon perjuangan mereka. Ironisnya, seolah tak disadari oleh polisi dimana  mereka  disaat terpuruknya citra itu justru masih mudah ditemui oknum-oknum polri yang melakukan tindakan tak terpuji dinegeri ini. Satu kata saja, memprihatinkan........
Mabes Polri menilai, intensitas ancaman bagi anggota kepolisian yang tengah bertugas di lapangan, mengalami peningkatan signifikan dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, eskalasi ancaman itu semakin tampak dengan sejumlah kasus penembakan polisi dalam jangka waktu berdekatan.

"Dengan adanya peristiwa penembakan terhadap anggota kami, tentu diwajibkan pada para jajaran senantiasa waspada. Karena kasus itu bukan terjadi tahun ini saja, tapi juga tahun 2012. Peristiwa-peristiwa itu, bagian tak terpisahkan dan perlu dicermati, Ada dinamika tantangan bagi kami. Tapi, dalam kondisi apapun, anggota harus eksis di lapangan. Eskalasi ancaman terhadap anggota memang ada peningkatan "

Selain waspada, Boy juga meminta petugas kepolisian harus siap menerima tantangan dan segala risiko yang mungkin terjadi di lapangan.


Kasus Penyerangan Anggota Polri :

1. Mapolsek Hamparan Perak diserang pada Rabu 22 September 2010, dini hari. Penyerangan dilakukan oleh kelompok teroris menggunakan senjata api. Akibat kejadian, tiga polisi tewas diterjang peluru yang dilepaskan oleh kawanan teroris.

2. Terjadi serangan bom bunuh diri di Mapolres Cirebon, Jawa Barat, Jumat 15 April 2011. Pelakunya adalah Muhammad Syarif Astana Gharif. Pelaku meledakkan bom di Masjid Adzikra yang berada di dalam Kompleks Mapolres Cirebon. Bom diledakkan saat Salat Jumat akan dimulai. Syarif tewas mengenaskan dengan isi perut terburai. Sementara sejumlah orang yang ikut Salat Jumat di dalam masjid itu terluka.

3.Serangan di Pos pengamanan Lebaran, Gemblengan, Solo Jumat 17 Agustus 2012. Pos Pam ditembaki oleh orang tak dikenal. Akibatnya, 2 polisi mengalami luka tembak.

4. Serangan di Pos pengamanan Gladak, Solo, 18 Agustus 2012. Pos Polisi Gladak dilempari granat oleh orang tak dikenal.

5. Serangan di Pos Polisi Singosaren, Solo, Jawa Tengah. Bripka Dwi Data Subekti yang sedang bertugas tewas tertembak. Densus 88 pun berhasil menembak mati 2 terduga teroris yang diduga melakukan rentetan serangan pos polisi di Solo.

6. Serangan di Pos Polisi Tasikmalaya, Senin 13 Mei 2013. Pos polisi dilempar bom rakitan. Satu polisi terluka. Sementara, 1 teroris ditembak mati dan 1 lainnya ditangkap.

7. Penembakan dua anggota Polsek Pondok Aren, Aiptu Kus Hendratno dan Bripka Amhad Maulana, Jumat (16/8/2013). Keduanya tewas dengan luka tembak.

8. Penembakan Aiptu Patah, kejadian sekitar pukul 04.30 WIB, Sabtu (27/7/2013) di Jalan Cirendeu Raya. Beruntung, Aiptu Patah bisa terselamatkan.

9. Aiptu Dwiyatna anggota Babinkamtibmas Polsek Cilandak, tewas ditembak di Jalan Otista Raya tidak jauh dari Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Rabu (7/8/2013) sekitar pukul 04.30 WIB. Suara itu mengagetkan Asman, penjaga Masjid Bani Umar, di malam naas itu. Mulanya dia mengira suara mercon. Letusan itu terdengar olehnya dua kali. Asman pun keluar rumah. Tapi Jalan Graha Raya, Parigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan itu sepi pada Kamis malam, 16 Agustus 2013. Saksi mata terkejut saat melihat ada sepeda motor tergeletak. Rupanya tak cukup cahaya di tepi jalan itu. Asman lalu merogoh telepon seluler di sakunya. Dengan benda itu ia menyorot sekitar motor. Dan, dia melihatsatu  jasad lelaki terbujur dengan kepala bersimbah darah. Belakangan, sebagai saksi yang diperiksa polisi, ia baru tahu kalau lelaki malang itu adalah Aiptu Koes Hendratna, seorang anggota polisi di Polsek Pondok Aren. Polisi itu tewas diterjang peluru orang tak dikenal. Ia ditembak dari jarak dekat, dari beberapa meter di belakangnya.
Diperoleh keterangan dari pihak kepolisian jika saat itu Aiptu Koes Hendratna hendak pergi ke Mapolsek Pondok Aren untuk apel pukul 22.00. Tatkala mau masuk ke markas Polsek, Aiptu Koes dipepet dua orang bermotor Mio hitam. Seseorang di motor itu lalu menembaknya persis di belakang kepala. Koes roboh. Ia meninggal di TKP. Melihat aksi itu, empat polisi lain pun bertindak. Mereka adalah tim buru sergap. Dengan mobil Avanza, pelaku penembak Koes dikejar. Motor itu akhirnya terkejar. Saat mobil persis di belakang motor, karena pelaku tak mau berhenti, polisi itu lalu menabrakkan mobil mereka ke motor itu. Benturan terjadi. Tapi mobil polisi ikut terperosok ke got tanggul jalan. Bripka Maulana yang mengemudikan mobil itu pun sigap keluar dari mobil yang remuk. Tapi naas baginya. Satu dari dua lelaki itu rupanya sudah turun dari motor mereka. Seorang lelaki menembak Bripka Maulana, yang baru keluar dari pintu mobil. Polisi muda itu terjengkang. Ia juga meninggal di tempat.
 
10. Anggota Provost Bripka Supardi tewas ditembak di Jalan Rasuna Said persis di depan gedung KPK pada Selasa malam pukul 22.20 Wib (10 sept 13). Dia terkapar di tengah jalan khusus motor, dengan luka tembakan di perut bagian kiri yang terlihat dari rembesan darah di seragamnya.

Supardi sedang mengendarai sepeda motor Honda Supra X 125 bernomor polisi B-6671-TXL sendirian. Dia sedang mengawal enam truk bak terbuka yang membawa elevator parts untuk proyek Rasuna Tower.

Teror Beruntun
Sudah tiga bulan ini, tiga polisi tewas ditembak orang tak dikenal di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Sementara di daerah, aksi teror terhadap polisi juga banyak terjadi. Polisi sepertinya jadi target untuk dihabisi. Seperti dalam daftar kejadian diatas, seorang polisi lalu lintas Aipda Patah Saktiyono, ditembak orang tak dikenal di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, pada subuh hari di tanggal 27 Juli 2013. Peluru itu menembus dada Patah, dari belakang hingga depan. Syukurlah, nyawanya bisa diselamatkan. Di Cilandak, insiden serupa menimpa Aiptu Dwiyatna, 7 Agustus lalu. Dwiyatna ditembak di Jalan Otista Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, sekitar pukul lima pagi. Dia tewas setelah peluru menembus helm, dan bersarang di kepalanya. Pada 13 Agustus, ada teror lain lagi. Rumah anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Tulam, di Perum Banjar Wijaya, Cipete Pinang, Kota Tangerang, ditembaki orang tak dikenal.

Aksi teror itu juga melebar ke Jawa Barat. Di Tasikmalaya, ada dua teror bom rakitan yang di lempar ke kantor polisi. Pertama, di Pos Polisi Jalan Mitrabatik, Kota Tasikmalaya, 13 Mei 2013. Satu orang pelaku berhasil dikejar usai melempar pos polisi itu. Ia tewas ditembak anggota Satuan Polisi Lalu Lintas di sana.

Dua bulan kemudian, seorang pengendara motor melempar bom rakitan ke halaman kantor Polsek Rajapolah. Bom itu mirip panci presto, yang berisi kabel ponsel berdaya ledak kecil, timah, dan paku. Polisi juga menemukan telepon genggam, remote control, dan bubuk mesiu. Barang-barang bukti itu, termasuk mesiu ditemukan dari bekas ledakan di pojok halaman kantor Polsek.

Siapa mereka?

Polisi tampaknya mulai bisa membaca aksi mereka. Para pelaku penembak para polisi ini diduga orang-orang terlatih. 
" Dilihat dari cara dia melakukan, memilih waktu, memilih sasaran, mereka sangat terlatih " .
Modusnya selalu pakai sepeda motor, dan berboncengan dua orang. Waktu operasi: malam atau dini hari, saat situasi sepi.  Jajaran  polisi dibuat geram.  Belum ada titik terang atas serangan ber seri ini. Polisi sudah menyebar sketsa wajah pelaku, tapi tak seorang pun terungkap dan  pelaku tertangkap.

Spekulasi pelakunya dari kelompok teroris juga mencuat. Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Polisi lewat Detasemen Khusus 88 rajin mengejar para teroris di Solo, dan Poso. Besar kemungkinan ada aksi balas dendam.
Teroris sekarang makin berani, anggota Binmas yang ditembak dikenal sebagai orang baik semua ". 

Aiptu Dwiyatna ditembak justru saat berangkat ke tempat pengajian. Sedangkan Aiptu Kus dikenal sebagai dermawan yang kerap membantu anak cacat di Yayasan Sayap IbuItu sebabnya polisi makin yakin ini salah satu aksi teror yang ingin menciutkan nyali.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Polisi Boy Rafli Amar menyebutkan ada kesamaan peluru penembak dua polisi di Pondok Aren, dengan sejumlah kasus serupa di Sulawesi dan Jawa. Dalam penembakan di Pondok Aren, polisi menemukan selongsong dan proyektil peluru berkaliber 9,9 milimeter. Persis dengan yang digunakan para teroris di Poso dan Solo.

“ Amunisi ini kami duga dari penyelundupan senjata Filipina, Seperti penembakan yang dilakukan Farhan cs di Solo, amunisinya juga sama  ".

Sebelum ini Abu Umar menyelundupkan senjata dari Filipina ke wilayah Poso, Sulawesi Tengah. Senjata dan amunisi itu lalu digunakan oleh kelompok Abu Roban di Poso, dan juga pada sejumlah kasus di Pulau Jawa. Polisi sedang mengembangkan hasil uji balistik ini, sehingga nantinya dapat diketahui apakah senjata yang digunakan pelaku berasal dari pabrikan atau rakitan.  
Hingga saat ini, banyak anggota teroris Poso pimpinan Abu Roban memakai senjata tua sisa konflik di Filipina ini.  Laras-laras itu cocok dengan kaliber yang digunakan dalam berbagai penembakan, termasuk serangan atas dua polisi di Pondok Aren. Dari dua proyektil di dua lokasi penembakan itu sama dengan ciri di Poso, polisi yakin ada keterkaitan dengan kelompok teroris.  Apalagi Tangerang adalah daerah rawan.  Ada beberapa teroris ditangkap di wilayah ini, salah satunya Dulmatin.  
Seorang sumber, yang intensif menelisik jejaring kelompok teror ini menjelaskan,
" model serangan kepada polisi itu disebut igtiyalat, atau pembunuhan diam-diam. Ada kemungkinan sebagai aksi balas dendam. Pada 2010-2013 lebih dari 300 teroris ditangkap, lebih dari 60 orang mati ditembak. ini aksi qisas, atau balas dendam ".

Gerilya kota?
Soal dugaan keterlibatan jaringan Abu Umar,  seperti sempat disinggung oleh Jubir Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan,  Abu  Umar memang aktif mengirim anggotanya ke Mindanao, Filipina Selatan pada tahun 1990-an.
“ Di sana anggotanya berlatih militer dengan kelompok Abu Sayaf  dan ada kesamaan peluru antara aksi teror di Tangerang Selatan dengan yang biasa digunakan kelompok Abu Sayaf di Filipina Selatan. Sementara, yang bisa memasok amunisi dan senjata dari Filipina Selatan ke Indonesia hanya ada dua, yakni kelompok Jemaah Islamiah (JI) dan Darul Islam (DI) ".

Menurutnya, sekarang kelompok JI lebih memilih jalan dakwah. Tapi kelompok (DI) faksi Abu Umar masih memilih jalan kekerasan. Ini bisa dilihat dari jejak rekam kelompok (DI) yang banyak terlibat dalam konflik horizontal di Ambon dan Poso. Selain itu, kawasan Tangerang, Pamulang, Depok dan Bojong Gede adalah basis dari kelompok (DI)- faksi Abu Umar.
Daerah ini sangat dipahami oleh kelompok Abu Umar. Kelompok Abu Umar memang sudah sejak tahun 2010 melakukan perang dengan polisi sebelum dia ditangkap polisi tanggal 4 Juli 2011.  Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) penangkapan Abu Umar yang tercatat ialah,  dia ditangkap 4 Juli 2011 di Bojong, Bogor dengan tuduhan kepemilikan senjata gelap. Turut disita  barang bukti sejumlah senjata laras panjang dan pistol. Salah satu yang disita adalah senjata api dan peluru kaliber 9,9 milimeter. 

Abu Umar lahir dengan nama Muchamad Ichwan di Jakarta, 30 Mei 1970. Dia bergabung ke DI tahun 1988 saat duduk di kelas II SMA 24, Senayan, Jakarta. Saat itu dia aktif di Bimbingan Rohani Islam (Rohis).  Pada 1997, dia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan dan bergabung dengan kelompok Abu Sayaf. Di sana pula dia mempelajari taktik perang dan persenjataan.
Dia pulang ke Indonesia tahun 1998. Dalam BAP-nya itu, Abu Umar mengaku sempat menjadi otak pembacokan Menteri Pertahanan pada era Presiden Gus Dur yaitu Matori Abdul Jalil pada tahun 2000. 
Alasannya, dia melihat Matori seorang komunis yang menyusup ke Islam sehingga harus dibunuh. Namun eksekutornya saat itu, Sutarno, gagal membunuh Matori. Sutarno malah tewas setelah dikeroyok massa yang menangkapnya. Sejak itu Abu Umar buron.
Anak lelaki Sutarno, Farhan Mujahid, lalu diangkatnya sebagai anak tiri. Farhan sendiri terlibat pada teror di hari perayaan Lebaran 2012 lalu di Solo. Saat itu Solo diserang oleh aksi teroris. Pada 17 Agustus 2012, pos pengamanan mudik di Gemblekan diberondong orang tak dikenal. Serangan kedua, 18 Agustus 2012, pos pengamanan mudik di Gladak dilempar granat nanas. Ketiga, pada 30 Agustus 2012, sekelompok teroris menembaki pos polisi pasar Singosaren, Solo. Akibat tiga serangan itu, dua polisi luka dan seorang tewas. Belakangan, dalang teror itu terungkap. Ia adalah Farhan Mujahid, seorang anak 19 tahun, memimpin sel belia itu. Farhan adalah anak tiri Abu Umar. Farhan sendiri tewas dalam penangkapan. Dua anggotanya, Bayu dan Firman ditangkap hidup, dan sekarang sedang menjalani proses sidang. Abu Umar sendiri akhirnya divonis 10 tahun pada 14 Mei 2012 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Tapi, dugaan itu tentu mesti dibuktikan lebih jauh oleh polisi. Pengamat terorisme, yang juga direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones mengatakan,
" Aksi penembakan polisi baru-baru ini mungkin tak sekadar bermotif aksi balas dendam, atau qisas tapi bisa juga lebih dari itu.  Aksi penembakan beruntun para polisi, misalnya, mengingatkan orang pada model “gerilya kota”. Gaya serangan itu pernah dipakai oleh kelompok teror Carlos Marighella di Brasil, beberapa dekade lalu ".

Penyerangan terhadap anggota Polri menarik dan perlu dibahas lebih teliti, kasus penembakan dua anggota Polri terjadi di Tanggerang Selatan yang wilayahnya melekat dengan ibukota negara. Selain itu pada waktu yang hampir bersamaan terjadi teror bom di Vihara Ekayana, pada hari Minggu (4/8/2013) Jakarta.
"Teror kepada polisi ini masih berlangsung terus. Pelaku-pelaku lama akan terus merekrut orang-orang baru. Apalagi, orang yang sudah punya keyakinan garis keras, sulit berubah. Jadi militan. Mereka cenderung merekrut orang-orang baru yang bisa dicuci otaknya, dengan dalil-dalil tertentu ".
Penembakan kedua anggota aktif Polri tersebut menambah daftar panjang penyerangan baik kantor polisi maupun personilnya. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo sejak bulan Desember 2012 mengakui, teroris telah mengubah sasaran atau target dengan mengincar polisi. Dugaan aksi tersebut sebagai tindakan balasan atas menguatnya  penangkapan sejumlah terduga teroris. Polisi masih menyelidiki penembak kedua polisi tersebut yang belum terungkap.
Sementara itu, Densus 88 Mabes Polri pada hari Jumat (9/8/2013) pukul 22.45 WIB telah menangkap Muh Saiful Sabani alias Ipul (26) di Yogyakarta yang merupakan jaringan teroris kelompok Rohadi dan Sigit Indrajit.
"Ipul bersama Ovie, Rohadi, Imam, dan Sigit yang telah tertangkap sebelumnya, berlatih membuat bom yang dilatih Sepriano alias Mambo ". 
Ipul,  juga ikut dalam latihan militer (i'dad) di Gunung Salak, pada Januari 2013, selain bertugas mencari dana untuk halaqoh yang dipimpin Rohadi, disebutkan  Ipul juga mengetahui perencanaan teror terhadap Umat Buddha dan Kedubes Myanmar, yang dapat digagalkan.
Nampaknya serangan ke Vihara Ekayana memang dilakukan oleh kelompok teror lama dan baru, hanya motifnya perlu dibuktikan. Menurut Kepala BNPT itu adalah teror bukan soal Rohingya, sementara dari indikasi serta fakta intelijen (the past), bom Vihara adalah pesan solidaritas terhadap Rohingya.
Dari kasus diatas, walau belum dapat dibuktikan bahwa penembak anggota polisi pelakunya kelompok teroris, tetapi jelas indikasi sudah menunjukkan kearah serangan teror terorganisir. Para anggota kelompok teror itu terus melakukan perekrutan dengan menggunakan dalil-dalil agama agar lebih meyakinkan. Bagi mereka yang sudah tercuci otaknya (brain washing), sulit untuk kembali dinormalkan. Itulah salah satu hambatan yang dialami oleh BNPT dalam melaksanakan deradikalisasi. Tanpa mengecilkan kemungkinan gejala-gejala perlawanan kriminal umum terhadap institusi Polri ini semisal kejahatan luar biasa, dendam residivis, kejahatan terorganisir (mafia/sindikatisme, kartel narkoba dll.) maka wajar jika untuk sementara para penyelidik Polri mengkerucutkan point tertinggi dengan mencurigai  motif dendam kelompok teroris konvensional yang jaringan dan sel-selnya banyak bertebaran disekitaran daerah TKP.  
Pergeseran target utama (prominent target) dari Gereja, Masjid dan bahkan presiden kini memang bergeser menjadi lebih spesifik pada aparat kepolisian. Misalnya, serangan terhadap Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara pada 22/9/2010 (tiga polisi tewas). Pemboman Pasar Sumber Arta, Jalan Raya Kalimalang, Kota Bekasi dekat Pos Polisi Sumber Aretha (30/9/2010). Pemboman Masjid di kompleks Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat, belasan anggota polisi luka-luka termasuk Kapolres Cirebon AKBP Heru Sukoco (15/4/2011).

Penembakan pos pengamanan Lebaran di Gemblegan, Solo, Jawa Tengah (16/8/2012), dua anggota Polri luka-luka. Pelemparan granat pos polisi di Gladak Solo (18/8/2012). Penembakan anggota polisi di Pos Polisi di Singosaren Plaza, Serangan, Solo, seorang anggota polisi tewas.

Pada Kamis (20/12/2012) sekitar pukul 10.00 Wita, anggota Brimob-Polda Sulawesi Tengah telah diserang oleh sekelompok orang bersenjata di Desa Kalora, Tambarana, Poso Pesisir, daerah Gunung Klora, empat anggota Brimob tewas. Tanggal 16 Oktober 2012, dua anggota polisi Poso ditemukan tewas mengenaskan, dikubur dalam satu lubang di daerah Tamanjeka, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso, Sulawesi Tengah. Pada hari Kamis pagi (15/11), rumah dinas Kapolsek Poso Pesisir Utara, Iptu Taruklabi, ditembaki orang tidak dikenal. Kapolsek berhasil selamat.

Senin Pagi (22/10/2012) di Pos Polisi Kelurahan Kasintuwu Kecamatan Poso Kota Utara diserang dengan dua bom rakitan. Sebagai akibat ledakan tersebut, seorang anggota lalu lintas Kepolisian Poso Bripda Rusliadi dan Muhammad Akbar, seorang petugas satpam Bank Rakyat Indonesia, mengalami luka-luka. Terjadi serangan bom bunuh diri ke kantor Polres Poso, tidak ada korban di kalangan polisi, pelaku tewas (3/6/2013). Dan kini terjadi penembakan terhadap dua anggota polisi, Aipda Patah Saktiyono pada (27/7/2013), dan Aiptu Dwiyatna (7/8/2013), seperti fakta tersebut nampaknya memang polisi (kantor dan personilnya) kini menjadi target utama. Teori balas dendam oleh teroris pernah diucapkan oleh para pejabat terkait. Menurut penjelasan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, dalam kurun waktu 13 tahun sudah 840 orang pelaku teror di Indonesia yang ditangkap, dimana sekitar 60 orang diantaranya ditembak mati di lokasi karena melawan petugas. Dari data ini nampaknya memang bisa saja para teroris yang masih hidup sangat membenci polisi dan akan terus membalas dendam.
Ansyad mengeluarkan teori pemberantasan terorisme yang dikatakannya masih terdapat kelemahan UU pemberantasan terorisme. Dinyatakannya, 
“Mestinya kalau kita mau betul-betul memberantas terorisme, kegiatan-kegiatan awal yang memprovokasi terjadinya terorisme itu harus bisa kita hentikan dengan dasar hukum. Tapi dasar hukum untuk itu kita belum punya. Jadi dasar hukum kita untuk ini adalah yang paling lembek dalam menghadapi aksi teroris ".

Ketika polisi yang menangani masalah terorisme, maka wajar bila dicap para teroris  sebagai musuh utamanya,  barangkali inilah penyebab dendam utamanya. Sementara terorisme hanya bisa diselesaikan apabila semua pihak terkait mau dan bersatu menanganinya. Memang dalam mengemban tugas keamanan dalam negeri, Polisi harus siap menerima resiko jabatan berhadapan dengan kelompok radikal yang sudah berposisi sebagai pelaku teror. Polisi adalah pagar hukum yang bersentuhan langsung dengan nilai-nilai universal masyarakat. Tak mengherankan jika polisi menghadapi banyak benturan kepentingan serta egoisme sekelompok masyarakat, golongan dan secara personal, begitulah resiko sebagai abdi bhayangkara negara yang diembannya.  Secara teori, teroris yang menghendaki sebuah revolusi, maka musuh dan benturan utama mereka adalah aparat kepolisian sebagai simbol keamanan dan ketertiban sipil dalam wujud pengemban supremasi hukum dimanapun daerah perjuangan anggota dan kelompok mereka.
Terlintas pula kekhawatiran lain, dengan masih belum ditemukan hilangnya 250 batang dinamit yang dipesan oleh PT Batu Sarana Persada (PT BSP) dalam pengiriman ke Cigudeg, Bogor, Jawa Barat sejak Kamis (27/6/2013) sekiranya perlu mendapat perhatian khusus. Apabila bahan peledak tersebut jatuh ketangan teroris, jelas akan berbahaya. Jangankan polisi, presiden sebagai simbol negarapun bisa dijadikan target sasaran teror, sebab saat ini teroris menjadi lebih diuntungkan posisinya, sebagai penyerang merekalah yang mempunyai inisiatif memulai serangan dan pasti akan lebih agresif berikut pola dan bentuk aksi serangan terornya.

Banyak Tesis Teror Yang Dikembangkan

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menilai tindakan penembakan itu merupakan bentuk teror pada aparat keamanan. Dia berpendapat ada beberapa maksud dari tindakan penembakan yang terjadi.


"Penembakan terhadap aparat kepolisian bisa menjadi pertanda para pelaku teror untuk menunjukkan eksitensinya dan dapat melakukan pembalasan ".

Juga bisa dimaknai agar pihak kepolisian tidak menekan para pelaku teror. "Itu menjadi pesan spesifik pada polisi ketimbang masyarakat," katanya dan menambahkan bahwa aparat keamanan bisa menjadi sasaran para pelaku teror ".

Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, menunjukkan para penjahat khususnya di ibu kota semakin nekat. Mereka kini tidak hanya menjadikan warga biasa sebagai target kejahatannya, tetapi aparat kepolisian.
Fenomena sikap nekat ini nampak muncul sejak tiga tahun terakhir. Awalnya, kantor polisi yang menjadi sasaran perusakan, lalu ada kasus pengeroyokan terhadap aparat polisi. 
"Kasus teror terhadap polisi ini menjadi peristiwa yang sangat memprihatinkan. Namun, analisa IPW kasus-kasus tersebut tidak terkait aksi para teroris yang dikenal selama ini ".

Indikasinya, penyerangan beberapa waktu lalu dilakukan dari depan. Sementara penembakan terhadap empat personel polisi dalam tiga bulan terakhir di Jakarta, dilakukan dari belakang korban.
"IPW menilai aksi penembakan dan penyerangan terhadap itu dilakukan para pengecut yang tak lebih dari aksi para kriminal biasa" .
Neta menilai merebaknya aksi penembakan akhir-akhir ini akibat kasus pertama yang tak kunjung terungkap, sehingga para kriminal makin nekat melakukan uji nyali untuk menyerang polisi.

"Bercermin dari kasus ini, sudah saatnya kepolisian mawas diri dan melatih diri dengan maksimal agar profesional. Institusi Polri harus mencermati fenomena ini dengan serius."


IPW mencatat angka polisi yang tewas saat bertugas terus meningkat. Pada 2012 ada 29 personel polisi tewas dan 14 lainnya luka-luka. Sebagian besar yang tewas adalah polisi jajaran bawah akibat dibunuh pelaku kriminal. Angka ini naik jika dibanding 2011, yang tercatat 20 aparat polisi tewas saat bertugas.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Marciano Norman merekomendasikan kepada Polri untuk melakukan sweeping (razia) senjata api pasca-penembakan yang menewaskan dua polisi di Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.

" Saya merekomendasikan dilakukannya sweeping senjata terhadap mereka yang tidak berhak memiliki senjata. Sweeping ini harus dilakukan bersama-sama dan peran masyarakat sangat besar untuk segera bisa memberikan informasi mengapa orang-orang itu memiliki senjata api ".


Menurut Wakapolri Komjen Pol Oegroseno, razia ini merupakan bagian dari langkah antisipasi Polri untuk mencegah meluasnya penembakan tak bertanggung jawab.

"Kami fokus pada senjata api dan Polri tidak segan-segan menindak semua pihak yang terbukti membawa senjata api ilegal. "Kami tingkatkan kesiapsiagaan. Jadi siapa yang masih bermain-main dengan senjata api, kami akan tindak sesuai proses hukum ".

Dia juga membantah anggapan penembakan terjadi lantaran polisi tidak siap dalam mengantisipasi tindak kejahatan.
 "Selama ini penerapan fungsi intelijen dalam mengantisipasi kerawanan sosial sudah berjalan dengan baik. Harus dipahami, kejahatan itu selalu selangkah lebih di depan kami. Mengantisipasi dengan berbagai cara, bukan berarti tunggu kejahatan terjadi lalu berbuat. Tapi kadang kita kalah cepat ".
Melihat makin maraknya teror terhadap aparat keamanan ini, tentu peran serta dan partisipasi masyarakat juga memegang kunci keberhasilan dalam pemberantasan teror. Hal ini juga bisa menekan dan mengantisipasi pengembangan dan perekrutan pelaku baru. Penanganan tindak terorisme dan kriminal umum tentu tak bisa mengabaikan mitra masyarakat dengan menjadikan masyarakat sebagai konduktor kejahatan disetiap lingkungannya sendiri. Kriminolog Adrianus Meliala meminta pihak kepolisian untuk lebih hati-hati dalam menyikapinya, termasuk dalam memberikan informasi kepada publik. Pesan-pesan tertentu sebaiknya menjadi konsumsi internal anggota Polri saja. Hal ini perlu dilakukan agar informasi yang keluar dari pihak kepolisian tidak memberikan kesan lain kepada masyarakat. Karena informasi itu bukan hanya bisa mengubah perilaku anggota kepolisian, tetapi juga dapat memengaruhi masyarakat.
 "Jangan sampai masyarakat berpikir polisi saja takut, apalagi kami ini yang cuma rakyat ".

Dalam pengembangan kasus penembakan ini, polisi menjajaki kemungkinan adanya kaitan antara kasus penembakan polisi dan sejumlah terduga teroris yang ditangkap di sejumlah tempat, belum lama ini. Seorang terduga teroris, Iswahyudi, ditangkap di Bekasi pada Selasa (20/8/2013). Dari Iswahyudi, polisi menyita sepucuk senjata api jenis Browning, 70 butir peluru kaliber 9 milimeter, tiga magasin, dan satu unit laptop.
Terduga teroris lain, IK alias RAM alias IB ditangkap di rumahnya, di Jalan Masjid Nomor 25, Cipayung, Jakarta Timur. Dari IB, polisi menyita dua pucuk senjata api jenis Barreta Makarov kaliber 32 dan Walter PPK 765 kaliber 35, dua pucuk air soft gun jenis pistol, peluru kaliber 22 sebanyak 43 butir, peluru kaliber 32 sebanyak 53 butir, peluru kaliber 32 jenis Colt sebanyak 2 butir, dan peluru hampa kaliber 32 sebanyak 8 butir. Dalam penyelidikan di tempat kejadian penembakan, polisi menemukan selongsong peluru kaliber 9,9 milimeter.


Pendapat berbeda disampaikan oleh Umar Abduh yang berkeyakinan bahwa pelaku rentetan penembakan terhadap polisi bukan dilakukan oleh jaringan teroris. Sebab, hingga kini Polri belum juga menangkap para pelaku rentetan penembakan tersebut.

"Kalau teroris pasti cepat ditangkap. Karena jaringannya, operatornya, dimonitor terus, ditempel terus oleh Densus 88. Jadi itu bukan teroris ".


Lalu jika pelakunya bukan dilakukan oleh teroris, maka siapa pelaku penembakkan terhadap polisi tersebut?

Menurut Umar, pelaku penembakan itu adalah orang-orang yang secara hukum diperbolehkan menggunakan senjata. Namun Umar tak bisa memberikan gambaran motif jika kejadian tersebut tidak dilakukan oleh kelompok teroris. (Umar Abduh adalah mantan terpidana kasus terorisme yang merupakan salah satu perencana aksi pembajakan pesawat Garuda di Thailand pada tahun 1981).

Pengamat terorisme, Noor Huda, menilai penembakan terbaru terhadap polisi yang dilakukan di depan gedung KPK direncanakan. Tak hanya merencanakan targetnya polisi, menurut dia, lokasi penembakan pun telah dipikirkan oleh pelaku. "Pasti sudah direncanakan," katanya saat dihubungi, Rabu, 11 September 2013.

Huda mengatakan, pelaku sengaja menunggu Anggota Provost Satuan Kepolisian Air Badan Pemelihara Keamanan Polri, Bripka Sukardi, yang tengah mengawal enam truk berada di depan gedung KPK untuk melakukan penembakan. Jika tidak, mereka sebenarnya bisa melakukan penembakan sebelum atau setelah melewati KPK. "Mereka mengikuti dan baru menembak pas di depan KPK," katanya.

Dia menduga pelaku melakukan itu lantaran KPK adalah simbol lembaga negara. Dengan melakukan penembakan tersebut, pelaku tak hanya ingin melawan orang, tapi juga negara. "KPK simbol harapan bangsa," ujarnya.

Berbeda dengan pendapat Noor Huda, Anggota Kompolnas Edi Syahputra Hasibuan menilai lokasi penembakan itu tak direncanakan. Menurut dia, penembak telah mengikuti rombongan itu dari jauh dan baru memiliki kesempatan di depan gedung KPK. "Hanya kebetulan di KPK," katanya.



MOTIF DAN PELAKU JADI POLEMIK (renungan)


Dari rangkaian peristiwa yang dianggap terorisme bisa jadi ada yang faktual. Tetapi dengan melihat performa kinerja penanganan terorisme oleh Densus 88 seperti yang kita saksikan sekarang, bukan mustahil terjadi opini di masyarakat bahwa ada rekayasa-rekayasa sebagai pembenaran tindakan sewenang-wenang melanggar HAM dengan dalih perang terhadap terorisme.
Benarkah ??
Tentu kecurigaan ini berdasarkan beberapa kejadian monoton gabungan dan kombinasi yang kuat antara institusi Mabes Polri melalui Densus 88 yang digerakkan dan diback up oleh orang-orang tertentu.  Beberapa tindakan yang melanggar hukum atas nama “war on terrorism” dalam bentuk beragam ekstra judicial killing dan ekstra judicial action kepada masyarakat sipil adalah terorisme oleh negara secara sistematis.

Menarik mencermati apa yang disampaikan oleh Wakapolri Oegroseno menanggapi beberapa penembakan polisi yang diduga berkaitan dengan terorisme. Termasuk juga sikap yang seharusnya dimiliki oleh aparat maupun Densus 88 terhadap beberapa penembakan polisi.

“Makanya sekarang kita harus ekstra hati-hati, kita tidak berani untuk terlalu menggiring pagi-pagi bahwa ini adalah teroris, ini adalah bukan teroris, dan sebagainya. Ini tidak bisa kita ungkapkan, karena sekarang terungkap nanti setelah ketemu pelakunya, motifnya apa ".

Pernyataan Oegroseno ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh IPW (Indonesian Policy Watch).

 “Kasus teror terhadap polisi ini menjadi peristiwa yang sangat memprihatinkan. Namun begitu IPW menganalisa kasusnya tidak terkait aksi para teroris yang dikenal selama ini ".

Apa yang disampaikan oleh Wakapolri berbeda dengan keterangan Mabes Polri sebelumnya melalui Karo Penmasnya Boy Rafly Amar. Indikasi keterkaitan pelaku penembakan tersebut dengan jaringan teroris.
 “Bisa jadi kaitan dengan kelompok berbeda tapi dengan misi teror, memberi efek rasa tidak aman. Yang jelas, ini perbuatan yang masuk tindak extraordinary crime (kejahatan luar biasa), yakni terorisme ". 
Adapun mengenai keterkaitannya bahwa pelaku merupakan sisa-sisa teroris yang mendapatkan pelatihan di Poso, Sulawesi Tengah, Boy tidak menampiknya.
Hal senada disampaikan oleh pengamat terorisme, Al Chaidar, yang menyatakan bahwa pelaku penembakan terhadap polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, pekan lalu, adalah teroris.

“Pelaku menggunakan jenis peluru berkaliber 9,9 milimeter. Peluru itu biasanya menggunakan pistol jenis FN ". 

Selain pistol jenis FN, menurutnya, ada sejumlah senjata yang biasa digunakan para teroris dalam setiap aksinya, seperti AK 47 dan AK 49.
Sementara IPW mengklaim, setidaknya ada tiga faktor yang menyatakan jika pelaku penembakan dilakukan kelompok teroris.
Pertama, dilihat dari modus kerja dan pembuatan bom yang sama dilakukan oleh kelompok teroris. Kedua, pelaku potensial (potential player) mengetahui cara penggunaan senjata dan membuat bom yang baik sebagaimana dapat diperoleh karena telah menjalani proses pelatihan (i’dad) sebelumnya.
Ketiga, kata Adrianus, dilihat dari motif penembakan yang dilakukan terhadap polisi.

“ Siapa benci terhadap polisi? Siapa yang menyatakan bahwa darah polisi itu halal. Banyak yang benci polisi, ya pelaku kejahatan, tapi enggak (banyak) yang punya akses terhadap senjata. Cara gerebek beda.”

Menyimak atas apa yang disampaikan oleh Wakapolri sesungguhnya merupakan bentuk sikap kehati-hatian menanggapi isu terorisme. Tidak gegabah dan tidak cepat mengembangkan opini demi desakan kepentingan tertentu. Benar-benar upaya untuk memilah memilih mana yang faktual dan mana yang rekayasa. Menempatkan secara proporsional dan obyektif  kejadian sebenarnya dengan menyelipkan kemungkinan lain yang mungkin memang ada sebagai motif aksi penembakan tersebut.
Penyerangan terhadap aparat negara seperti ini memang merupakan gejala internasional yang tak hanya terjadi di Indonesia.

“Teroris sedang bergejolak, seperti di Irak puluhan polisi ditembaki, markas polisi di bom. Di Afganistan, Mendagri yang merupakan pimpinan polisi tewas dalam satu pesta. Begitu juga di Afrika Utara, Mesir dan Pakistan. Ada perubahan strategi setelah Osama bin Laden tak ada, polisi sebagai penegak hukum dianggap sebagai thogut atau orang yang menghalang-halangi usaha mereka. Sehingga mendapatkan serangan-serangan dari para teroris, apalagi kalau thogutnya itu dianggap bekerjasama dengan toghut yang lebih besar yaitu Amerika ".

(Pernyataan-pernyataan yang disampaikan baik oleh Al Chaidar, Ronny, Adrianus, dan Mbai menguatkan opini bahwa penembakan polisi di Pondok Aren benar-benar terkait dengan teroris). Sementara jika hendak bersabar menela'ah dan berbaik sangka terhadap motif teroris ini maka uraian dibawah ini barangkali patut diajukan sebagai bahan penyeimbang daripada motif ini tergiring membabi buta kearah serangan teroris yang identik dengan kelompok radikal berlatar agama.

Pertama : Jika memang benar penembakan polisi di Aren itu terkait dengan teroris kenapa sasaran tembaknya adalah polisi level bawah dan seolah tidak ada sasaran yang jelas misalnya dalam bentuk simbol-simbol asing dan para sekutunya. Terkesan lebih mirip sebagai bentuk perlawanan sporadis yang lebih didorong oleh motivasi “balas dendam” dan “responsif” ketimbang sebuah gerakan yang sistematis.

Kedua : Para mujahidin yang pernah mengikuti jihad di beberapa negara dan dituduh sebagai otak pelaku terorisme bukanlah seorang yang berkarakter seperti “preman”.  Yang di gambarkan suka menghalalkan segala cara termasuk melakukan perampokan atau merampas hak orang lain untuk menjalankan jihad. Apalagi merampas sepeda motor orang lain yang bukan menjadi haknya. Termasuk dugaan tidak terbukti adanya sindikasi jaringan bisnis narkoba dengan terorisme seperti yang dituduhkan BNPT beberapa waktu yang lalu dengan istilah “narcoterrorism”.  Ini sangat bertentangan dengan aturan-aturan dalam Islam bagaimana fiqih jihad itu. Dan itu menjadi pemahaman yang umum di kalangan mujahidin. Metode “fa’i” hanya dikenal di kalangan jaringan “teroris bentukan” dan tidak dikenal sama sekali di jaringan para mujahidin.
  
Kekhawatiran yang pantas jika seorang perampok tulen kemudian dikenalkan kepada publik sebagai mujahidin yang melakukan fa'i. Nama pelaku yang berubah sengaja menjadi nama-nama berlabel timur tengah agar kesan mereka adalah berbahaya bagi seluruh komponen bangsa ini sehingga tertepikan telah terjadi peniscayaan sekaligus penistaan terhadap keyakinan agama tertentu dengan mulusnya. Bayangkan, Indonesia adalah komunitas muslim terbesar didunia yang justru sedikit sekali yang menyadari jika kemuslimannya dijahiliyahi dengan segala tipu daya.
Padahal jelas-jelas bahwa tindakan-tindakan itu melanggar aturan-aturan yang dibuat oleh negara sendiri seperti pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J, UU Nomer 5 tahun 1988, UU Nomer 39 tahun 1999, UU Nomer 23 tahun 2002, UU Nomer 11 tahun 2005, UU No 12 tahun 2005, Keppres Nomer 36 tahun 1990, Peraturan Kapolri Nomer 8 tahun 2009. Termasuk juga pelanggaran terhadap konvensi internasional seperti DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Akhirnya penting untuk melihat dan menguak secara obyektif apa dan bagaimana sebenarnya di balik terjadinya terorisme  di Indonesia. Semuanya berpulang pada good will dan political will penguasa secara independen. Tidak dipengaruhi oleh intervensi asing dalam mengambil keputusan negeri ini. Inilah jaminan atau prasyarat penguasa mampu secara obyektif menbedah akar terorisme sekaligus memahami cara tuntas untuk menyelesaikannya.  (braindonesia_berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar