Mr. Abbot menggertak akan menyakiti pihak INDONESIA, didepan para pejabat militer NATO, mr. Abbot mewacanakan mengganti panglimanya dengan panglima yang dianggap sangat keras terhadap pihak Indonesia. konyol bin menggelikan, LOL. Indonesia kukuh tak bergeming, atas aksi sok jago tetangganya tersebut yang seolah sedang menyiapkan sebuah operasi militer demi menyelamatkan 2 gembong narkoba, pihak RI pun menyambut tantangan ini dengan satu opsi, " LU JUAL, GUE BORONG !! ". TNI menggelar siaga satu. Panglima TNI tak main-main menerima ajakan duel terselubung paling mendebarkan itu. Sontak beberapa kalangan dan masyarakat Australia kaget dan misuh melihat aksi Abbot yang menggambarkan kebodohan dan kegegabahan dalam diplomasi internasionalnya. Tak kurang bahkan Menlu dan beberapa anggota kabinetnya pun merasa
kecewa. Banyak diantara politisi senior yang menyarankan Abbot untuk
berkunjung dan menemui presiden RI di Jakarta guna negosiasi ulang.
Negoisasi dianggap lebih elegan daripada terus menerus menekan dan menyudutkan pihak Indonesia, karena mereka harus sadar bahwa Indonesia telah kenyang sejarah melawan pusaran badai dan banyak belajar dari pengalaman-pengalaman pahit manis sebelumnya, dimana negara-negara barat telah sering melukai dan menikam kedaulatan Indonesia. Hal yang sangat diyakini para analis politik, militer dan intelijen barat sebagai pembangkit rasa nasionalisme dan semakin meningkatkan sentimen anti barat pada seluruh elemen dan lapisan masyarakat Indonesia. nah loh.....
Chairman of Joint Chief Staff Martin Dempsey, menyarankan Australia untuk lebih proaktif dan memperkuat hubungannya dengan Indonesia, mengingat jika stabilitas di kawasan Asean tidak stabil, maka pintu untuk masuknya kekuatan lain di kawasan Asean akan sangat terbuka. Siapa lagi ??
Banyak kalangan menilai Abbot sebagai kegagalan Australia memilih top leader. Pemimpin dengan phobia kekuatan dari utara. Padahal, ancaman yang sebenarnya mungkin masih sangat jauh, bisa dengan tiba-tiba datang dari Indonesia. Atau kemungkinan terburuknya adalah masuknya kekuatan lain melalui pintu gerbang Indonesia. Abbot tak mampu membaca perkembangan kawasan, padahal Panglima US saja cenderung lebih berhati-hati dan terkesan gak mau ambil pusing. Mereka sangat tahu konsukwensinya dan berapa harga perang yang harus ditanggung seandainya perang harus terjadi.
52% warga Australia mengutuk pemimpinnya, dan menyebutnya sebagai pemimpin yang tidak becus, pongah dan gagal move on. Mereka menganggap Abbot harus banyak belajar pada SBY bagaimana cara berdiplomasi dan cara-cara elegan menyelamatkan warganya yang terancam hukuman mati diluar negeri. Sisanya adalah mainstream konyol yang terkesan dalam sebuah artikel harian Herald Sun mereka.
Kolom opini di harian Herald Sun hari Senin (23/2), memperpanas hubungan Indonesia-Australia. Penulis Rita Panahi menilai pemerintah Indonesia tidak tahu diri karena mengabaikan bantuan USD 1 miliar (setara Rp 13 triliun) untuk rekonstruksi tsunami Aceh. Itu belum termasuk bantuan-bantuan lain yang biasa diberikan Australia melalui AUSAID dan pelbagai lembaga donor independen Negeri Kanguru.
Negoisasi dianggap lebih elegan daripada terus menerus menekan dan menyudutkan pihak Indonesia, karena mereka harus sadar bahwa Indonesia telah kenyang sejarah melawan pusaran badai dan banyak belajar dari pengalaman-pengalaman pahit manis sebelumnya, dimana negara-negara barat telah sering melukai dan menikam kedaulatan Indonesia. Hal yang sangat diyakini para analis politik, militer dan intelijen barat sebagai pembangkit rasa nasionalisme dan semakin meningkatkan sentimen anti barat pada seluruh elemen dan lapisan masyarakat Indonesia. nah loh.....
Chairman of Joint Chief Staff Martin Dempsey, menyarankan Australia untuk lebih proaktif dan memperkuat hubungannya dengan Indonesia, mengingat jika stabilitas di kawasan Asean tidak stabil, maka pintu untuk masuknya kekuatan lain di kawasan Asean akan sangat terbuka. Siapa lagi ??
Banyak kalangan menilai Abbot sebagai kegagalan Australia memilih top leader. Pemimpin dengan phobia kekuatan dari utara. Padahal, ancaman yang sebenarnya mungkin masih sangat jauh, bisa dengan tiba-tiba datang dari Indonesia. Atau kemungkinan terburuknya adalah masuknya kekuatan lain melalui pintu gerbang Indonesia. Abbot tak mampu membaca perkembangan kawasan, padahal Panglima US saja cenderung lebih berhati-hati dan terkesan gak mau ambil pusing. Mereka sangat tahu konsukwensinya dan berapa harga perang yang harus ditanggung seandainya perang harus terjadi.
52% warga Australia mengutuk pemimpinnya, dan menyebutnya sebagai pemimpin yang tidak becus, pongah dan gagal move on. Mereka menganggap Abbot harus banyak belajar pada SBY bagaimana cara berdiplomasi dan cara-cara elegan menyelamatkan warganya yang terancam hukuman mati diluar negeri. Sisanya adalah mainstream konyol yang terkesan dalam sebuah artikel harian Herald Sun mereka.
Kolom opini di harian Herald Sun hari Senin (23/2), memperpanas hubungan Indonesia-Australia. Penulis Rita Panahi menilai pemerintah Indonesia tidak tahu diri karena mengabaikan bantuan USD 1 miliar (setara Rp 13 triliun) untuk rekonstruksi tsunami Aceh. Itu belum termasuk bantuan-bantuan lain yang biasa diberikan Australia melalui AUSAID dan pelbagai lembaga donor independen Negeri Kanguru.
Kebanyakan bantuan rutin ini masuk melalui Bappenas untuk memperkuat
SDM dan infrastruktur kawasan timur Indonesia, terutama NTT, Maluku, dan
Papua.
“Jakarta tutup mata atas kebaikan tetangganya. Sebaliknya, setelah
semua bantuan itu, Indonesia membiarkan perdagangan manusia, imigran
gelap, dan pencurian ikan di perarian Australia,” tulis Panahi.
Sentimen terhadap Indonesia mencuat sejak Perdana Menteri Tony Abbott
mengungkit hibah tsunami dalam kampanyenya membebaskan dua pentolan
Bali Nine yang hendak dihukum mati dalam waktu dekat. Setelah ramai
dikritik, Abbott menjelaskan bahwa yang dia maksud dari mengungkit
nominal hibah sekadar mengingatkan hubungan baik antara RI-Australia
selama ini.
Senator Tasmania, Jacqui Lambie, justru mendukung pemerintah
Australia bersikap keras pada Indonesia. Tidak perlu lagi memberi
bantuan, baik itu hibah, beasiswa, hingga pinjaman lunak pada tetangga
yang tidak tahu diri.
“Untuk apa kita berikan ratusan juta dollar pada Indonesia,” kata Lambie.
Kembali ke opini Panahi, dia menekankan bahwa bantuan suatu negara
tidak mungkin netral. Uang pembayar pajak Australia itu didonasikan ke
seluruh dunia agar nilai-nilai khas Negeri Kanguru dapat diadopsi oleh
negara penerima.
“Kalau hanya alasan kemanusiaan, bantuan kita ke Indonesia pasti cuma
untuk membelikan vaksin atau meningkatkan pasokan gizi anak keluarga
miskin,” tulisnya.
Merujuk data APBN Australia, pemerintah Negeri Kanguru pada 2015
hendak memberikan bantuan lintas sektor pada Indonesia sebesar ASD 234
juta (setara Rp 2 triliun). Jumlah ini sebenarnya sudah turun jauh
dibandingkan 2014 yang mencapai ASD 543 juta (Rp 5,4 triliun).
Bantuan Australia kepada Indonesia meningkat 20 persen tiap tahun
sejak tragedi Bom Bali pada 2002. Jumlah itu bahkan meningkat empat kali
lipat selepas bencana Tsunami memporakporandakan Aceh dan Mentawai.
Panahi menyoroti fakta semua bantuan itu berjasa menggenjot ekonomi
Indonesia. “Sekarang waktunya untuk bertanya, buat apa kita berikan
begitu banyak uang untuk Indonesia. Negara yang lebih sering menghina
kita.”
Ujian Keteguhan Sikap Indonesia
Perdana
Menteri Australia Tony Abbott kembali mengancam Indonesia bila dua warganya
yang terlibat penyelundupan narkotik dieksekusi mati,maka Abbot menyatakan
pemerintahnya bakal melakukan balasan diplomatik yang setimpal. “Jutaan warga
Australia muak oleh eksekusi Indonesia itu,” kata dia di Sydney, kemarin,
seperti dilansir cnn Indonesia.com.
Abbott belum
menyatakan apa saja respons Canberra. Namun akhir pekan lalu Menteri Julie
Bishop mengancam Jakarta bahwa warga Australia bisa memboikot Indonesia,
termasuk ke Pulau Bali, yang merupakan tempat favorit turis Australia.
Australia juga bisa menarik duta besarnya, seperti yang dilakukan Brasil dan
Belanda, sebagai protes atas eksekusi mati terhadap warganya bulan lalu
Protes itu dipicu
oleh sikap Presiden Jokowi yang tetap akan melakukan eksekusi mati terhadap
sejumlah terpidana kasus narkoba. Kejaksaan Agung sudah mempersiapkan eksekusi
itu. Di antara mereka adalah dua terpidana asal Australia yang dikenal sebagai
anggota “Bali Nine” yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, 31 tahun, dan
Sukumaran, 33 tahun. Keduanya dikabarkan akan segera dipindahkan dari LP
Kerobokan, Denpasar, Bali, ke tempat eksekusi, yakni LP Nusa Kambangan,
Cilacap, Jawa Tengah.
Petisi pembebasan
Chan dan Sukumaran kemarin sudah mencapai lebih dari 150 ribu tanda tangan
warga Australia yang memohon pengampunan. Petisi itu akan dikirimkan kepada
pemerintah Indonesia dan Australia.
Kedutaan
Australia di Jakarta telah diundang untuk berbicara dengan diplomat Indonesia
hari ini. Juru bicara Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, membenarkan
adanya undangan pertemuan itu.
Grasi
keduanya sudah ditolak Presiden Joko Widodo untuk kedua kalinya pada pekan
lalu. Saat semua harapan hampir menguap, PM Abbott meluncurkan ancaman
baru.
“Jika eksekusi diteruskan, dan saya berharap mereka tidak melakukannya,
kami pasti akan menemukan cara membuat (Indonesia) tidak senang,” .
Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati
19 February 2015 | 11:36 am | Dilihat : 3240
Tony Abbott news
PM Australia Tony Abbott (Foto : news.com.au)
Media di Indonesia kini diramaikan dengan dua berita yaitu konflik Polri
versus KPK dan rencana eksekusi mati terpidana kasus narkoba warga
negara Australia. Persoalan konflik di tataran nasional kini telah
diredakan oleh Presiden Jokowi dengan membatalkan pencalonan Komjen Pol
Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan mengajukan Komjen Badrodin Haiti
sebagai calon baru. Presiden juga mengeluarkan Keppres memberhentikan
sementara Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto,
serta mengeluarkan Perppu menunjuk tiga orang sebagai Plt KPK.
Walau kemelut ini belum selesai tetapi paling tidak getaran berupa
ancaman terhadap stabilitas keamanan telah mereda. Kesimpulannya masalah
nasional lebih mudah diredakan dengan keputusan yang bijak dan
dikomunikasikan dengan baik.
Kini menurut penulis, ada hal penting lain yang harus diperhatikan oleh
presiden serta unsur polisi dan militer Indonesia (TNI). Penulis
mengamati dan mempelajari keberatan pemerintah Australia dengan rencana
eksekusi mati dua tokoh pedagang narkoba yang dikenal kelompok Bali
Nine. Dua terpidana mati WN Australia telah ditolak grasinya oleh
Presiden Jokowi.
Bahaya yang penulis amati dari sudut pandang intelijen demikian serius
dan sebaiknya harus dicermati serta dilakukan penilaian dan penyelidikan
intelijen agar Indonesia tidak kecolongan atas kemungkinan tindak
ekstrem dari Australia. Penulis mencoba mengurai kasus keberatan
Australia dengan beberapa fakta serta analisis berikut dibawah ini.
Kelompok ini disebut Bali Nine karena terdiri dari sembilan orang
penyelundup narkotika yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali dalam
usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia.
Anggota Bali Nine asal Australia tersebut adalah Scott Anthony Rush,
Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Renae Lawrence, Tan Duc Tanh Nguyen, Si
Yi Chen, dan Mathew James Norman, Michael William Czugaj, dan Martin
Eric Stephen.
Setelah melalui pengadilan panjang, kini yang menjadi berita besar, dua
orang diputuskan akan segera dieksekusi tembak mati. Keduanya adalah
Andrew Chan, disebut sebagai God Father dan Myuran Sukumaran. Pada
tanggal 10 Desember 2014 Presiden Jokowi menyatakan dalam pidatonya
bahwa ia tidak akan menyetujui setiap pemintaan keringanan karena
pelanggaran narkoba. Tanggal 30 Desember 2014, permohonan Sukumaran
untuk grasi ditolak, sementara permohonan grasi dari Chan ditolak pada
tanggal 22 Januari 2015. Kedua terpidana itu kini ditahan di lapas
Kerobokan Bali. Menurut informasi keduanya akan dipindahkan ke
Nusakambangan.
Posisi Politik dan Sikap PM Australia Tony Abbott
Pada bulan Januari 2015, PM Australia Tony Abbott serta Menlu Julie
Bishop meminta kepada Presiden Jokowi untuk meninjau penolakan grasi
kedua WN Australia tersebut. Pemerintah Indonesia bergeming dan menolak
permohonan tersebut. Selain Australia, Sekjen PBB , Ban Ki-moon juga
mendesak pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Jokowi, untuk
menghentikan hukuman mati. Desakan dari Ban Ki-moon itu disampaikan oleh
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric.
Jaksa Agung Prasetyo menegaskan bahwa Indonesia tetap akan melanjutkan
eksekusi. "Tidak akan dibatalkan," kata Prasetyo, di Istana Kepresidenan
Bogor, Jawa Barat, Senin (16/2/2015). Tim eksekutor dikatakannya sudah
siap, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk pelaksanaan.
PM Tony Abbott menyatakan bahwa Australia akan menempuh semua opsi hukum
untuk menyelamatkan dua warga negaranya dari eksekusi mati di
Indonesia. Demikian janji Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Senin
(16/2/2015). "Saya tidak ingin memberikan harapan palsu, tetapi saya
ingin semua orang paham, kami sedang mengupayakan setiap celah untuk
membantu orang-orang itu," kata Abbott.
Selanjutnya Abbott mengatakan akan melakukan balasan diplomatik yang
setimpal jika Indonesia mengeksekusi warganya. Ia mengatakan bahwa warga
negara Australia sudah muak dengan langkah Indonesia tersebut. Warga
negara Australia bahkan membuat petisi yang meminta Indonesia mengampuni
Chan dan Sukumaran. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop bahkan
mengancam memboikot Indonesia, termasuk melarang warganya berkunjung ke
Pulau Bali.
Mengapa pemerintah Australia demikian gencar mengupayakan agar kedua
warganya lepas dari regu tembak? Nampaknya ini dapat dikatakan lebih
dilatar belakangi dengan posisi politik dari PM Abbott yang kurang baik
beberapa waktu terakhir. Tony Abbott yang baru 17 bulan menjadi perdana
menteri itu terancam di impeach. Pada awal Februari sebagian dari
warga Australia, menganggap Abbott gagal dalam meningkatkan
perekonomian Australia, disamping kebijakannya dibidang perpajakan yang
dinilai tidak sejalan dengan harapan warga Australia.
Dia lolos dari vonis,”mosi tidak percaya”, dan tetap bertahan dalam
posisinya sebagai PM Australia setelah selamat dari upaya voting di
internal Partai Liberal, yang dilakukan hari Senin (9/2/2015) pagi di
Canberra. Dalam voting yang dihadiri 101 dari 102 anggota Partai
Liberal yang memiliki hak suara, 61 menyatakan menolak mosi dan 39
menyatakan menerimanya. Satu suara diberikan secara informal dan 1
anggota tidak hadir karena sedang cuti. Walau selamat, tetapi karir
politiknya dinilai cedera (Tjiptadinata, Kompasiana).
Nah menurut penulis, disinilah kesempatan Abbott untuk mengembalikan
kepercayaan warga Australia dalam memperjuangkan jiwa warganya yang akan
dieksekusi mati di Indonesia, tetangga dekatnya. Oleh karena itu kini
terlihat dia berusaha mati-matian akan menyelamatkan Chan dan Sukumaran.
Ini sebuah pertaruhan nama serta karir politik Abbott pastinya.
Lobi politik Australia jelas sangat kuat, karena kini Sekjen PBB juga
sudah ikut meminta agar hukuman mati itu dibatalkan, kita faham bahwa
apa kata PBB itu juga kata AS. Selain itu pemerintah sebaiknya waspada,
pada pemerintahan SBY, Australia adalah negara penyadap presiden SBY dan
beberapa pejabat pemerintah. Hasilnya disetorkan ke AS. Australia
tergabung dalam jaringan intelijen lima negara (five eyes) dengan AS,
Inggris, Canada dan New Zealand.
Artinya, kini semua pembicaraan baik Presiden Jokowi serta beberapa
pejabat terkait penulis perkirakan sudah disadap oleh intelijen
Australia. Yang penulis khawatirkan, pemerintah (baca : Jokowi) kini
lebih sibuk dengan urusan BG, Badrodin, konflik Polri-KPK, ancaman DPR,
Kompolnas, tekanan elit PDIP dan pernik politik yang ringan tapi dibuat
kusut oleh berbagai pihak. Pemerintah terlalu menganggap ringan ancaman
Australia, negara yang pernah memonitor hingga bumbu dapur dan masakan
dirumah Ibu Negara Ani Yudhoyono. Dengan menyadap, mereka akan menguasai
kekuatan, kemampuan dan kerawanan si target.
Penulis agak mencurigai, bahwa Australia bisa saja melakukan langkah
ekstrem untuk menyelamatkan kedua warganya tersebut. Australia selama
ini merasa sebagai negara besar, kuat, Deputy AS dikawasan Asia. Penulis
saat bertugas mendampingi Menhan Matori Abdul Djalil (Alm) sebagai
penasihat intelijen pernah diminta membuat analisis apa resiko apabila
Menhan akan membuat pernyataan bahwa bom Bali-1 (oktober 2002) sebagai
serangan Al-Qaeda dengan Jamaah Islamiyah. Ternyata dibalik itu semua,
Australia serta AS yang marah karena banyak warganya yang tewas, bisa
melakukan langkah preemtive strike ke Indonesia.
Mereka mempunyai konsep mengejar terorisme hingga jauh ke garis belakang
sebuah negara, apabila sebuah negara menjadi ancaman keamanan
nasionalnya. Ini berarti mereka selalu menyiapkan kemampuan melakukan
intervensi baik dalam skala terbatas maupun besar ke sebuah negara.
Operasi bisa dilakukan mandiri ataupun berupa gabungan. Dikawasan Asean,
Australia masih tergabung dalam pakta pertahanan FPDA (Five Power
Defence Arrangements) disamping pakta ANZUS (kini antara Australia dan
AS). Dengan demikian maka Indonesia dikelilingi tetangga yang tergabung
dalam pakta pertahanan.
Australia sudah sejak lama selalu aktif mendukung AS dalam pelbagai
operasi militer di pelbagai belahan dunia, seperti serangan ke
Afghanistan dan Irak misalnya. Demikian juga kini dalam operasi serangan
udara terhadap ISIS di Irak dan Syria Australia mengirimkan pesawat
tempur Hornet. Pasukan khususnya sangat berpengalaman terlatih bertempur
di negara lain.
Nah, dengan sense of intelligence yang dimiliki (cara berfikir intelijen
adalah kondisi terburuk agar kita tidak terkena unsur pendadakan),
apakah bukan tidak mungkin pemerintah Australia akan melakukan langkah
ekstrem menyelamatkan Chan dan Sukumaran?. Dimasa lalu, saat operasi
Timor Timur, intelijen militer Australia diketahui juga melakukan
infiltrasi dalam mendukung Fretilin. Ini disebabkan karena masih ada
wilayah Indonesia yang belum ter-cover radar di wilayah Timur. Tetapi
kini dapat dikatakan semua wilayah sudah dapat dimonitor radar
Kohanudnas dan sipil.
Pertanyaannya, bagaimana kalau pasukan khusus Australia melakukan upaya
penculikan dan membawa lari kedua tersangka tersebut? Dari pengalaman
pengamanan lapas, nampak sistem keamanannya sangat lemah apabila
dilakukan ambush oleh anggota militer terlatih. Peristiwa Cebongan
menunjukkan bahwa keamanan lapas sangat mudah ditembus hanya dengan
sebuah team terdiri dari beberapa orang terlatih yang hanya
dipersenjatai dengan sebuah AK-47. Mision acomplish.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Pemerintah Indonesia disebut bakal menerima intervensi yang makin intensif dari dunia Internasional. Ini berkaitan dengan langkah pemerintah yang tetap memastikan mengeksekusi mati sejumlah warga luar negeri dalam kasus peredaran narkoba.
Sebelumnya, tekanan hanya datang dari Australia, kemudian menyusul Brasil. "Tekanan global membuat Perancis dan Nigeria bergabung dengan Australia untuk menyerukan pengampunan," tulis laporan Sidney Morning Herald, seperti dilansir repbulika online.
Dilaporkan berita tersebut, keluarga terpidana asal Nigeria yang juga bakal dieksekusi bersama duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, telah memprotes kedutaan Indonesia di Lagos. Raheem Agbaje Salami merupakan daftar ke-21 warga Nigeria yang bersiap menghadapi hukuman mati karena kasus narkoba.
"Para pengunjuk rasa di Lagos mengeluh pemerintah di Abuja (ibu kota Nigeria) belum cukup vokal dengan Indonesia," tulis laporan tersebut.
Sindey Herald menambahkan, Pemerintah Prancis juga memanggil duta besar Indonesia di Paris pekan lalu untuk mengungkapkan keprihatinan atas nasib Serge Atlaoui, warga Prancis dalam kasus operasi pabrik ekstasi di Jakarta.
"Ini mengikuti keputusan Brazil dan Belanda untuk menarik duta besar mereka dari Jakarta bulan lalu," laporan tersebut menambahkan.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius memang mengatakan Perancis menentang hukuman mati "di semua tempat dan dalam segala situasi". Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon juga mengimbau Indonesia untuk membatalkan hukuman mati.
"Pemerintah Filipina juga membuat permohonan resmi untuk meninjau hukuman kurir narkoba asal negaranya, Mary Jane," tambah laporan tersebut.
Brazil tolak Dubes RI
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengaku tidak ingin mencampuri urusan kerja sama mengenai pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) antara Pemerintah Indonesia dan Brasil. Moeldoko mengatakan, kelanjutan kerja sama tersebut bergantung pada keputusan pemerintah pusat.
“Itu dalam konteks politik, it’s not my business. Tetapi, kalau ada hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan, jangan main-main dengan saya,” ujar Moeldoko saat ditemui seusai bertemu dengan Gerakan Pemuda Ansor di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
Moeldoko mengakui, saat ini Indonesia masih melakukan kerja sama dalam bidang alutsista dengan Brasil. Beberapa kerja sama pembelian alutsista, misalnya pesawat tempur Super Tucano dan MLRS (Multiple Launch Rocket System).
Meski tidak ingin ikut campur dalam urusan politik kenegaraan, Moeldoko menjamin bahwa TNI akan selalu siap menjaga kedaulatan Indonesia. Dalam hal pelaksanaan eksekusi mati, Moeldoko mengatakan bahwa ia telah menyiapkan pasukan khusus untuk mengantisipasi ancaman dari negara lain.
“Urusan kerja sama dengan Brasil jangan terburu-burulah. Lagi pula itu bukan domain saya,” kata Moeldoko.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya berpendapat perlu adanya evaluasi terkait kerja sama dengan Brasil. Langkah itu perlu dilakukan menyikapi keputusan Pemerintah Brasil yang menolak menerima Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto.
Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan credential Duta Besar RI untuk Brasil kepada Toto. Pembatalan penyerahan tersebut di saat Toto sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dubes-dubes lain.
Hal ini terjadi di tengah pertentangan eksekusi seorang warga Brasil di Indonesia dan rencana hukuman mati warga kedua dalam waktu dekat.
Kemenlu menilai penolakan Presiden Brasil adalah bentuk tindakan yang tidak dapat diterima oleh Pemerintah Indonesia. Kemenlu telah menarik Toto dari Brasil untuk selanjutnya kembali ke Indonesia. Kemenlu protes keras terhadap penolakan tersebut. Bahkan pemerintah Indonesia berencana menunda pembelian alutsista dari Brasil. Setali tiga uang dengan australia, sebagian masyarakat Brazil justru memandang sikap Dilma sebagai hal yang mengecewakan. Bahkan banyak warga medsos negeri samba tersebut berseloroh untuk menangkap Dilma sekalian yang dianggap payung narkoba dinegerinya. Sebagian mereka malah ingin memajang poster presiden Jokowi dijalanan besar Brazil untuk menunjukkan kemuakan mereka terhadap narkoba.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan, pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan untuk menunda pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Brasil. Langkah ini menyusul keputusan pemerintah Brasil yang menolak menerima Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto.
“Lagi dipertimbangkan,” kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta.
Kalla mengatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Brasil untuk sementara ini tidak lagi hangat. Menurut Kalla, pemerintah telah menarik Dubes Indonesia dari Brasil satu jam setelah kejadian tersebut.
“Malam itu juga, setelah peristiwa itu, Presiden memerintahkan tarik. Saya berkomunikasi dengan Menlu, langsung tarik,” kata Kalla.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya berpendapat perlu ada evaluasi terkait kerja sama dengan Brasil. Langkah itu perlu dilakukan menyikapi keputusan Brasil yang menolak menerima Dubes Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto.
Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan credential Duta Besar RI untuk Brasil kepada Toto. Pembatalan penyerahan tersebut di saat Toto sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dubes-dubes lain.
Hal ini terjadi di tengah pertentangan eksekusi seorang warga Brasil di Indonesia dan rencana hukuman mati warga kedua dalam waktu dekat. Kemenlu menilai penolakan Presiden Brasil adalah bentuk tindakan yang tidak dapat diterima oleh pemerintah Indonesia. Kemenlu telah menarik Toto dari Brasil untuk selanjutnya kembali ke Indonesia. Kemenlu protes keras terhadap penolakan tersebut.
Mengenai budi bantuan Australia ketika tsunami aceh, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa Australia hanya satu dari 56 negara yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada Indonesia saat bencana tsunami terjadi pada 2004 silam. Jika Australia menagih balas budi dari bantuan tersebut, Kalla menyatakan bahwa pemerintah siap untuk mengembalikannya.
"Saya sudah jelaskan bahwa kami pahami waktu tsunami itu ada bantuan kemanusiaan dari 56 negara, termasuk di dalamnya Australia. Australia hanya bagian dari 56 itu. Kalau begitu tidak dianggap kemanusiaan, kita kembalikan saja," kata Kalla di kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Kendati demikian, menurut Kalla, Pemerintah Australia telah meluruskan pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott beberapa waktu lalu yang mengaitkan bantuan tsunami dengan rencana eksekusi mati dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Abbott mendesak Indonesia untuk mengingat kontribusi besar Canberra dalam bantuan setelah tsunami dan membayar kemurahan hati itu dengan membatalkan eksekusi Andrew dan Myuran.
"Dia menjelaskan dan menyadari bahwa itu suatu kekeliruan," sambung Kalla.
Mengenai aksi masyarakat yang menggalang dana untuk diberikan kepada Australia, Kalla menganggap aksi tersebut sebagai luapan emosi masyarakat terhadap sikap Pemerintah Australia.
Aksi ini dinilainya serupa dengan gerakan masyarakat ketika pemerintah diminta membayar uang diat sebagai tebusan bagi warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di Arab Saudi beberapa waktu lalu.
"Dulu kan waktu mau dihukum mati yang di Saudi, mau dibayar Rp 20 miliar kan, masyarakat kan juga kumpulkan duit, sama saja," ujar Kalla.
Pemerintah tengah mempersiapkan eksekusi mati tahap kedua di Nusakambangan. Kejaksaan belum mengungkapkan waktu dan siapa saja terpidana yang akan dieksekusi mati. Hanya, jumlahnya dipastikan lebih banyak dibanding tahap pertama yang berjumlah enam orang.
Akankah kasus Cebongan menginspirasi Australia ?Menarik mencermati artikel yang ditulis oleh Prayitno Ramelan yang berjudul “Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati“. Dalam artikel yang diposting 19 Februari 2015 dan mendapatkan tempat sebagai Headlines Kompasiana tersebut dikemukakan opsi upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam menggagalkan eksekusi mati dua terpidana warga negara Australia: Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam waktu dekat oleh Pemerintah Indonesia.
Semua opsi upaya Pemerintah Australia itu dilatar belakangi oleh posisi Perdana Menteri Tony Abbott yang perlu memperbaiki kinerja dirinya. Abbott lolos dari ”mosi tidak percaya” yang berujung impeachment, dan tetap bertahan pada posisinya sebagai PM Australia di internal Partai Liberal pada voting yang dilakukan pada Senin, 9 Februari 2015 pagi waktu Canberra. Dalam voting itu, yang dihadiri 101 dari 102 anggota Partai Liberal yang memiliki hak suara, 61 menyatakan menolak mosi dan 39 menyatakan menerimanya. Satu suara diberikan secara informal dan 1 anggota tidak hadir karena sedang cuti. Walau selamat, tetapi karier politiknya dinilai cedera.
Dalam artikel itu disebut bahwa upaya pendekatan diplomatik baik langsung oleh Pemerintah Australia sendiri maupun menggunakan tangan PBB ternyata tak mampu mengubah keputusan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati tersebut.
Pemerintah Australia pun menebar ancaman embargo wisata ke Bali. Namun, Pemerintah Indonesia bergeming atas ancaman itu. Kemudian Penulis mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak meremehkan Pemerintah Australia. Pemerintah Indonesia harus membuat berbagai macam antisipasi semua hal yang BISA dilakukan oleh Pemerintah Australia, termasuk di dalamnya tindakan ekstrim yaitu salah satunya preemptive strikes.
Makna Preemptive Strikes dalam konteks militer menurut kamus daring bahasa Inggris Collin Dictionary adalah designed to reduce or destroy an enemy’s attacking strength before it can use it (a pre-emptive strike) dalam bahasa Indonesia adalah dimaksudkan untuk mengurangi atau menghancurkan kekuatan menyerang musuh sebelum dapat menggunakannya atau padanannya “serangan pendahuluan”. Definisi kamus lain dari frase itu adalah serving or intended to preempt or forestall something, especially to prevent attack by disabling the enemy (dimaksudkan untuk mendahului atau mencegah sesuatu, terutama untuk mencegah serangan dengan cara melumpuhkan musuh).
Secara lebih gamblang WiseGeek mendefinisikan preemptive strikes sebagai suatu operasi militer suatu negara yang dirancang untuk menetralisir ancaman potensial (laten), atau untuk mendapatkan keuntungan yang nyata terhadap musuh yang mengancamnya.
Doktrin pertahanan diri (self-defense) setiap negara baik secara individu negara itu sendiri maupun –jika kolektif atau bersama-sama itu dengan persetujuan Dewan Keamanaan PBB terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Charter, Chapter II Article-4):
Sedangkan secara lebih khusus Preemptive Strikes sebagai salah satu bentuk pertahanan diri suatu negara memang diakui dalam Piagam PBB Chapter VII Article-51:
Dengan mengesampingkan diskursus berbagai pendapat tentang tentang legalitas doktrin keamanan itu, preemptive strikes diperbolehkan dengan syarat dilakukan pada (1) entitas non- negara, seperti teroris, yang mungkin atau mungkin tidak memiliki senjata pemusnah massal; dan (2) menyatakan di mana ada risiko bahwa teroris akan memperoleh senjata pemusnah massal.
Ketika preemptive strikes dipertimbangkan untuk dilakukan oleh suatu negara, mesti didahului dengan pengamatan pendahuluan, diantaranya adalah pengamatan yang cermat tentang sifat ancaman itu, apakah ada ancaman konkret seperti konsentrasi pengerahan pasukan musuh di perbatasan negara itu atau diduga kuat adanya detonator (pemicu) hulu ledak nuklir atau pemusnah massal yang diarahkan ke dalam negara itu. Hal-hal itu dipertimbangkan sebagai legitimasi untuk dilakukan preemptive strikes. Selain itu, hal lain yang dijadikan legitimasi adalah adanya pemberitaan masal yang menyebar dari pihak musuh akan ancaman itu, informasi intelijen, dan rekam jejak kebiasaan musuh.
Namun demikian sebelum memutuskan melakukan preemptive strikes melalui pejabat pemerintah negara itu harus melalui tahapan diplomasi, sanksi, dan alat-alat lainnya. Idealnya, sebuah tindakan agresif berupa operasi militer hanya boleh dilakukan jika semua opsi lain telah habis. Australia mungkin akan berani melakukan agresi terhadap Indonesia, tapi siapkah dunia terutama Australia memikul efeknya ?? Ini Indonesia bung !!
Operasi Pembebasan Bali Nine Oleh Militer Australia, Mungkinkah?
Secara fakta walaupun Pemerintah Indonesia telah melakukan ancaman eksekusi mati terhadap warga Australia, namun ancaman itu sebatas pada duo Bali Nine yang telah melanggar hukum positif Negara Indonesia. Indonesia tidak melakukan ancaman secara umum yang melibatkan atau ditujukan kepada seluruh warga negara Australia baik sipil maupun militer. Dan Pemerintah Indonesia tidak mengarahkan senjata pemusnah masalnya ke negara Australia, selain tidak adanya rekam jejak Indonesia sebagai negara agresor.
Karena itu, berdasarkan uraian di atas berdasarkan doktrin keamanaan PBB, legalitas dan fakta yang ada, Pemerintah Australia tidak memenuhi syarat untuk melakukan preemptive strikes. Ancaman pada warganya –duo Bali Nine– adalah dalam rangka Indonesia melakukan kedaulatan hukum negaranya terhadap warga Australia yang melanggar hukum Indonesia, dimana situasi Indonesia dalam keadaan darurat narkoba.
PBB pun setelah mendapatkan penjelasan dari Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sudah tidak bersuara lantang lagi terhadap eksekusi mati itu. Ini bisa merupakan sinyal bahwa PBB memahami bahwa eksekusi mati duo Bali Nine warga Australia semata-mata Pemerintah Indonesia melaksanakan putusan pengadilan yang inkracht dan Presiden Jokowi dengan tegas menolak memberikan ampunan kepada mereka.
Indonesia Pantas Bergeming
Menjelang eksekusi mati terhadap 13 orang terpidana mati diantaranya duo Bali Nine, Pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan militernya. Sebagaimana diberitakan oleh www.republika.co.id pada Senin hari ini di Kupang bahwa Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Torry Djohar Banguntoro mengatakan TNI sudah menyiapkan satu Skuadron Sukhoi untuk mengawal proses pemindahan terpidana mati asal Australia dalam kasus “Bali Nine” dari Lapas Kerobokan Bali menuju Lapas Nusakambangan.
“Kami juga sudah menyiapkan pasukan Raiders dan Kavaleri untuk tindakan pengamanan terhadap dua terpidana mati, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan mulai dari Lapas Kerobokan menuju Bandara Ngurah Rai Bali,” katanya.
Bahkan selain itu, sebagaimana dilansir oleh www.okezone.com, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan sinyal dengan penuh ketegasan, tidak akan berkomunikasi dengan Pemerintah Australia untuk mengeksekusi dua terpidana mati asal negeri kanguru tersebut.
Menurut JK, hal itu sudah menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia. Karenanya, tidak ada gunanya jika eksekusi mati harus berkomunikasi lebih dahulu dengan Australia.
“Enggak, enggak. Kita tidak menjalin komunikasi,” tegas JK di Kantor Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka, Jakarta.
Terkait dengan situasi kesiagaan ini, Presiden Jokowi juga memperingatkan semua pihak untuk tidak memanas-manasi antara Indonesia dengan Australia. Kepada www.kompas.com, Presiden Joko Widodo tidak mau mempersoalkan lagi pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengungkit soal bantuan Australia untuk korban tsunami dalam protesnya akan ancaman hukuman mati terhadap kelompok Bali Nine. Menurut Jokowi, pemerintah Indonesia sudah mendapat klarifikasi dari negara kangguru itu.
Presiden juga tak mau menyebutkan secara rinci soal klarifikasi yang didapat pemerintah Indonesia itu. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menegaskan bahwa sikap pemerintah tak akan melunak terhadap terpidana mati kasus narkoba.
Sebelumnya, tekanan hanya datang dari Australia, kemudian menyusul Brasil. "Tekanan global membuat Perancis dan Nigeria bergabung dengan Australia untuk menyerukan pengampunan," tulis laporan Sidney Morning Herald, seperti dilansir repbulika online.
Dilaporkan berita tersebut, keluarga terpidana asal Nigeria yang juga bakal dieksekusi bersama duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, telah memprotes kedutaan Indonesia di Lagos. Raheem Agbaje Salami merupakan daftar ke-21 warga Nigeria yang bersiap menghadapi hukuman mati karena kasus narkoba.
"Para pengunjuk rasa di Lagos mengeluh pemerintah di Abuja (ibu kota Nigeria) belum cukup vokal dengan Indonesia," tulis laporan tersebut.
Sindey Herald menambahkan, Pemerintah Prancis juga memanggil duta besar Indonesia di Paris pekan lalu untuk mengungkapkan keprihatinan atas nasib Serge Atlaoui, warga Prancis dalam kasus operasi pabrik ekstasi di Jakarta.
"Ini mengikuti keputusan Brazil dan Belanda untuk menarik duta besar mereka dari Jakarta bulan lalu," laporan tersebut menambahkan.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius memang mengatakan Perancis menentang hukuman mati "di semua tempat dan dalam segala situasi". Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon juga mengimbau Indonesia untuk membatalkan hukuman mati.
"Pemerintah Filipina juga membuat permohonan resmi untuk meninjau hukuman kurir narkoba asal negaranya, Mary Jane," tambah laporan tersebut.
Brazil tolak Dubes RI
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengaku tidak ingin mencampuri urusan kerja sama mengenai pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) antara Pemerintah Indonesia dan Brasil. Moeldoko mengatakan, kelanjutan kerja sama tersebut bergantung pada keputusan pemerintah pusat.
“Itu dalam konteks politik, it’s not my business. Tetapi, kalau ada hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan, jangan main-main dengan saya,” ujar Moeldoko saat ditemui seusai bertemu dengan Gerakan Pemuda Ansor di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
Moeldoko mengakui, saat ini Indonesia masih melakukan kerja sama dalam bidang alutsista dengan Brasil. Beberapa kerja sama pembelian alutsista, misalnya pesawat tempur Super Tucano dan MLRS (Multiple Launch Rocket System).
Meski tidak ingin ikut campur dalam urusan politik kenegaraan, Moeldoko menjamin bahwa TNI akan selalu siap menjaga kedaulatan Indonesia. Dalam hal pelaksanaan eksekusi mati, Moeldoko mengatakan bahwa ia telah menyiapkan pasukan khusus untuk mengantisipasi ancaman dari negara lain.
“Urusan kerja sama dengan Brasil jangan terburu-burulah. Lagi pula itu bukan domain saya,” kata Moeldoko.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya berpendapat perlu adanya evaluasi terkait kerja sama dengan Brasil. Langkah itu perlu dilakukan menyikapi keputusan Pemerintah Brasil yang menolak menerima Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto.
Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan credential Duta Besar RI untuk Brasil kepada Toto. Pembatalan penyerahan tersebut di saat Toto sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dubes-dubes lain.
Hal ini terjadi di tengah pertentangan eksekusi seorang warga Brasil di Indonesia dan rencana hukuman mati warga kedua dalam waktu dekat.
Kemenlu menilai penolakan Presiden Brasil adalah bentuk tindakan yang tidak dapat diterima oleh Pemerintah Indonesia. Kemenlu telah menarik Toto dari Brasil untuk selanjutnya kembali ke Indonesia. Kemenlu protes keras terhadap penolakan tersebut. Bahkan pemerintah Indonesia berencana menunda pembelian alutsista dari Brasil. Setali tiga uang dengan australia, sebagian masyarakat Brazil justru memandang sikap Dilma sebagai hal yang mengecewakan. Bahkan banyak warga medsos negeri samba tersebut berseloroh untuk menangkap Dilma sekalian yang dianggap payung narkoba dinegerinya. Sebagian mereka malah ingin memajang poster presiden Jokowi dijalanan besar Brazil untuk menunjukkan kemuakan mereka terhadap narkoba.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan, pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan untuk menunda pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Brasil. Langkah ini menyusul keputusan pemerintah Brasil yang menolak menerima Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto.
“Lagi dipertimbangkan,” kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta.
Kalla mengatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Brasil untuk sementara ini tidak lagi hangat. Menurut Kalla, pemerintah telah menarik Dubes Indonesia dari Brasil satu jam setelah kejadian tersebut.
“Malam itu juga, setelah peristiwa itu, Presiden memerintahkan tarik. Saya berkomunikasi dengan Menlu, langsung tarik,” kata Kalla.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya berpendapat perlu ada evaluasi terkait kerja sama dengan Brasil. Langkah itu perlu dilakukan menyikapi keputusan Brasil yang menolak menerima Dubes Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto.
Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan credential Duta Besar RI untuk Brasil kepada Toto. Pembatalan penyerahan tersebut di saat Toto sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dubes-dubes lain.
Hal ini terjadi di tengah pertentangan eksekusi seorang warga Brasil di Indonesia dan rencana hukuman mati warga kedua dalam waktu dekat. Kemenlu menilai penolakan Presiden Brasil adalah bentuk tindakan yang tidak dapat diterima oleh pemerintah Indonesia. Kemenlu telah menarik Toto dari Brasil untuk selanjutnya kembali ke Indonesia. Kemenlu protes keras terhadap penolakan tersebut.
Mengenai budi bantuan Australia ketika tsunami aceh, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa Australia hanya satu dari 56 negara yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada Indonesia saat bencana tsunami terjadi pada 2004 silam. Jika Australia menagih balas budi dari bantuan tersebut, Kalla menyatakan bahwa pemerintah siap untuk mengembalikannya.
"Saya sudah jelaskan bahwa kami pahami waktu tsunami itu ada bantuan kemanusiaan dari 56 negara, termasuk di dalamnya Australia. Australia hanya bagian dari 56 itu. Kalau begitu tidak dianggap kemanusiaan, kita kembalikan saja," kata Kalla di kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Kendati demikian, menurut Kalla, Pemerintah Australia telah meluruskan pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott beberapa waktu lalu yang mengaitkan bantuan tsunami dengan rencana eksekusi mati dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Abbott mendesak Indonesia untuk mengingat kontribusi besar Canberra dalam bantuan setelah tsunami dan membayar kemurahan hati itu dengan membatalkan eksekusi Andrew dan Myuran.
"Dia menjelaskan dan menyadari bahwa itu suatu kekeliruan," sambung Kalla.
Mengenai aksi masyarakat yang menggalang dana untuk diberikan kepada Australia, Kalla menganggap aksi tersebut sebagai luapan emosi masyarakat terhadap sikap Pemerintah Australia.
Aksi ini dinilainya serupa dengan gerakan masyarakat ketika pemerintah diminta membayar uang diat sebagai tebusan bagi warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di Arab Saudi beberapa waktu lalu.
"Dulu kan waktu mau dihukum mati yang di Saudi, mau dibayar Rp 20 miliar kan, masyarakat kan juga kumpulkan duit, sama saja," ujar Kalla.
Pemerintah tengah mempersiapkan eksekusi mati tahap kedua di Nusakambangan. Kejaksaan belum mengungkapkan waktu dan siapa saja terpidana yang akan dieksekusi mati. Hanya, jumlahnya dipastikan lebih banyak dibanding tahap pertama yang berjumlah enam orang.
Akankah kasus Cebongan menginspirasi Australia ?Menarik mencermati artikel yang ditulis oleh Prayitno Ramelan yang berjudul “Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati“. Dalam artikel yang diposting 19 Februari 2015 dan mendapatkan tempat sebagai Headlines Kompasiana tersebut dikemukakan opsi upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam menggagalkan eksekusi mati dua terpidana warga negara Australia: Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam waktu dekat oleh Pemerintah Indonesia.
Semua opsi upaya Pemerintah Australia itu dilatar belakangi oleh posisi Perdana Menteri Tony Abbott yang perlu memperbaiki kinerja dirinya. Abbott lolos dari ”mosi tidak percaya” yang berujung impeachment, dan tetap bertahan pada posisinya sebagai PM Australia di internal Partai Liberal pada voting yang dilakukan pada Senin, 9 Februari 2015 pagi waktu Canberra. Dalam voting itu, yang dihadiri 101 dari 102 anggota Partai Liberal yang memiliki hak suara, 61 menyatakan menolak mosi dan 39 menyatakan menerimanya. Satu suara diberikan secara informal dan 1 anggota tidak hadir karena sedang cuti. Walau selamat, tetapi karier politiknya dinilai cedera.
Dalam artikel itu disebut bahwa upaya pendekatan diplomatik baik langsung oleh Pemerintah Australia sendiri maupun menggunakan tangan PBB ternyata tak mampu mengubah keputusan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati tersebut.
Pemerintah Australia pun menebar ancaman embargo wisata ke Bali. Namun, Pemerintah Indonesia bergeming atas ancaman itu. Kemudian Penulis mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak meremehkan Pemerintah Australia. Pemerintah Indonesia harus membuat berbagai macam antisipasi semua hal yang BISA dilakukan oleh Pemerintah Australia, termasuk di dalamnya tindakan ekstrim yaitu salah satunya preemptive strikes.
Makna Preemptive Strikes dalam konteks militer menurut kamus daring bahasa Inggris Collin Dictionary adalah designed to reduce or destroy an enemy’s attacking strength before it can use it (a pre-emptive strike) dalam bahasa Indonesia adalah dimaksudkan untuk mengurangi atau menghancurkan kekuatan menyerang musuh sebelum dapat menggunakannya atau padanannya “serangan pendahuluan”. Definisi kamus lain dari frase itu adalah serving or intended to preempt or forestall something, especially to prevent attack by disabling the enemy (dimaksudkan untuk mendahului atau mencegah sesuatu, terutama untuk mencegah serangan dengan cara melumpuhkan musuh).
Secara lebih gamblang WiseGeek mendefinisikan preemptive strikes sebagai suatu operasi militer suatu negara yang dirancang untuk menetralisir ancaman potensial (laten), atau untuk mendapatkan keuntungan yang nyata terhadap musuh yang mengancamnya.
Doktrin pertahanan diri (self-defense) setiap negara baik secara individu negara itu sendiri maupun –jika kolektif atau bersama-sama itu dengan persetujuan Dewan Keamanaan PBB terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Charter, Chapter II Article-4):
“All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state or in any manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”
Sedangkan secara lebih khusus Preemptive Strikes sebagai salah satu bentuk pertahanan diri suatu negara memang diakui dalam Piagam PBB Chapter VII Article-51:
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a member of the UN – until the Security Council has take measures necessary to maintain international peace and security.”
Dengan mengesampingkan diskursus berbagai pendapat tentang tentang legalitas doktrin keamanan itu, preemptive strikes diperbolehkan dengan syarat dilakukan pada (1) entitas non- negara, seperti teroris, yang mungkin atau mungkin tidak memiliki senjata pemusnah massal; dan (2) menyatakan di mana ada risiko bahwa teroris akan memperoleh senjata pemusnah massal.
Ketika preemptive strikes dipertimbangkan untuk dilakukan oleh suatu negara, mesti didahului dengan pengamatan pendahuluan, diantaranya adalah pengamatan yang cermat tentang sifat ancaman itu, apakah ada ancaman konkret seperti konsentrasi pengerahan pasukan musuh di perbatasan negara itu atau diduga kuat adanya detonator (pemicu) hulu ledak nuklir atau pemusnah massal yang diarahkan ke dalam negara itu. Hal-hal itu dipertimbangkan sebagai legitimasi untuk dilakukan preemptive strikes. Selain itu, hal lain yang dijadikan legitimasi adalah adanya pemberitaan masal yang menyebar dari pihak musuh akan ancaman itu, informasi intelijen, dan rekam jejak kebiasaan musuh.
Namun demikian sebelum memutuskan melakukan preemptive strikes melalui pejabat pemerintah negara itu harus melalui tahapan diplomasi, sanksi, dan alat-alat lainnya. Idealnya, sebuah tindakan agresif berupa operasi militer hanya boleh dilakukan jika semua opsi lain telah habis. Australia mungkin akan berani melakukan agresi terhadap Indonesia, tapi siapkah dunia terutama Australia memikul efeknya ?? Ini Indonesia bung !!
Operasi Pembebasan Bali Nine Oleh Militer Australia, Mungkinkah?
Secara fakta walaupun Pemerintah Indonesia telah melakukan ancaman eksekusi mati terhadap warga Australia, namun ancaman itu sebatas pada duo Bali Nine yang telah melanggar hukum positif Negara Indonesia. Indonesia tidak melakukan ancaman secara umum yang melibatkan atau ditujukan kepada seluruh warga negara Australia baik sipil maupun militer. Dan Pemerintah Indonesia tidak mengarahkan senjata pemusnah masalnya ke negara Australia, selain tidak adanya rekam jejak Indonesia sebagai negara agresor.
Karena itu, berdasarkan uraian di atas berdasarkan doktrin keamanaan PBB, legalitas dan fakta yang ada, Pemerintah Australia tidak memenuhi syarat untuk melakukan preemptive strikes. Ancaman pada warganya –duo Bali Nine– adalah dalam rangka Indonesia melakukan kedaulatan hukum negaranya terhadap warga Australia yang melanggar hukum Indonesia, dimana situasi Indonesia dalam keadaan darurat narkoba.
PBB pun setelah mendapatkan penjelasan dari Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sudah tidak bersuara lantang lagi terhadap eksekusi mati itu. Ini bisa merupakan sinyal bahwa PBB memahami bahwa eksekusi mati duo Bali Nine warga Australia semata-mata Pemerintah Indonesia melaksanakan putusan pengadilan yang inkracht dan Presiden Jokowi dengan tegas menolak memberikan ampunan kepada mereka.
Indonesia Pantas Bergeming
Menjelang eksekusi mati terhadap 13 orang terpidana mati diantaranya duo Bali Nine, Pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan militernya. Sebagaimana diberitakan oleh www.republika.co.id pada Senin hari ini di Kupang bahwa Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Torry Djohar Banguntoro mengatakan TNI sudah menyiapkan satu Skuadron Sukhoi untuk mengawal proses pemindahan terpidana mati asal Australia dalam kasus “Bali Nine” dari Lapas Kerobokan Bali menuju Lapas Nusakambangan.
“Kami juga sudah menyiapkan pasukan Raiders dan Kavaleri untuk tindakan pengamanan terhadap dua terpidana mati, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan mulai dari Lapas Kerobokan menuju Bandara Ngurah Rai Bali,” katanya.
Bahkan selain itu, sebagaimana dilansir oleh www.okezone.com, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan sinyal dengan penuh ketegasan, tidak akan berkomunikasi dengan Pemerintah Australia untuk mengeksekusi dua terpidana mati asal negeri kanguru tersebut.
Menurut JK, hal itu sudah menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia. Karenanya, tidak ada gunanya jika eksekusi mati harus berkomunikasi lebih dahulu dengan Australia.
“Enggak, enggak. Kita tidak menjalin komunikasi,” tegas JK di Kantor Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka, Jakarta.
Terkait dengan situasi kesiagaan ini, Presiden Jokowi juga memperingatkan semua pihak untuk tidak memanas-manasi antara Indonesia dengan Australia. Kepada www.kompas.com, Presiden Joko Widodo tidak mau mempersoalkan lagi pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengungkit soal bantuan Australia untuk korban tsunami dalam protesnya akan ancaman hukuman mati terhadap kelompok Bali Nine. Menurut Jokowi, pemerintah Indonesia sudah mendapat klarifikasi dari negara kangguru itu.
Presiden juga tak mau menyebutkan secara rinci soal klarifikasi yang didapat pemerintah Indonesia itu. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menegaskan bahwa sikap pemerintah tak akan melunak terhadap terpidana mati kasus narkoba.
Tak main-main, tiga pesawat tempur Sukhoi SU-30MK2 telah datang di Base Ops Lanud
Ngurah Rai Bali. Pesawat tempur Sukhoi SU-30MK2 ini, kabarnya
didatangkan khusus untuk mengawal ‘duo Bali nine’ terpidana mati kasus
narkoba yang bakal dieksekusi dalam waktu dekat.
Sebelum mendarat pukul 10.05 Wita, Minggu (22/2) mereka sempat
melakukan atraksi di areal Bandara Ngurah Rai sekitar 45 detik. Pesawat
ini didatangkan dari Lanud Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Informasi dari sejumlah anggota di Lanud Ngurah Rai, meyakini bahwa 3 pesawat tempur tersebut khusus dipersiapkan untuk mengawal jelang eksekusi mati ‘Dua Bali Nine’.
“Ini memang disiapkan khusus untuk terpidana mati Bali Nine, itu perintahnya,” ujar salah seorang anggota Lanud Ngurah Rai.
Kajati Bali, Momock BS dihubungi secara terpisah lewat ponselnya hanya meminta wartawan untuk bersabar.
“Sabar nanti saat kita boyong, pasti saya hubungi wartawan. Sabar ya, pesawat sudah siap. Dah ya, sabar,” kata Momock di Denpasar, Bali.
Kepala Dinas TNI AU Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto mengaku belum mendengar kabar ini. Namun menurutnya memang ada persiapan khusus soal pengamanan eksekusi ini sesuai perintah Panglima TNI.
Sebelumnya Panglima TNI Jenderal Moeldoko menegaskan TNI mendukung langkah pemerintah untuk mengeksekusi gembong narkoba. Moeldoko menyiapkan pasukan dan mengaku TNI tak takut ancaman dari mana pun.
Informasi dari sejumlah anggota di Lanud Ngurah Rai, meyakini bahwa 3 pesawat tempur tersebut khusus dipersiapkan untuk mengawal jelang eksekusi mati ‘Dua Bali Nine’.
“Ini memang disiapkan khusus untuk terpidana mati Bali Nine, itu perintahnya,” ujar salah seorang anggota Lanud Ngurah Rai.
Kajati Bali, Momock BS dihubungi secara terpisah lewat ponselnya hanya meminta wartawan untuk bersabar.
“Sabar nanti saat kita boyong, pasti saya hubungi wartawan. Sabar ya, pesawat sudah siap. Dah ya, sabar,” kata Momock di Denpasar, Bali.
Kepala Dinas TNI AU Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto mengaku belum mendengar kabar ini. Namun menurutnya memang ada persiapan khusus soal pengamanan eksekusi ini sesuai perintah Panglima TNI.
Sebelumnya Panglima TNI Jenderal Moeldoko menegaskan TNI mendukung langkah pemerintah untuk mengeksekusi gembong narkoba. Moeldoko menyiapkan pasukan dan mengaku TNI tak takut ancaman dari mana pun.
Pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbott yang
mengungkit-ungkit bantuan tsunami Aceh menuai kecaman di berbagai
tempat. Kali ini kelompok Koalisi Pro Indonesia menggelar aksi
#KoinUntukAustralia di Bundaran HI Jakarta. Menurut koordinator aksi, Stenli, gerakan #KoinUntukAustralia
dilakukan sebagai peringatan kepada pemerintah agar dapat bertindak
tegas atas segala pelanggaran hukum yang dilakukan dan tidak terpengaruh
oleh politisasi pihak asing seperti Australia dan negara lainnya.
“Kami minta pemerintah konsisten dalam menegakan hukum. Jangan terpengaruh pihak asing manapun termasuk ucapan Tony Abbott,” ujar Stenli menegaskan.
Ia menambahkan gerakan ini juga dilakukan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki martabat di mata dunia. Ia menilai, ucapan yang dilontarkan Tony Abbott sangat tidak sesuai dengan etika Internasional.
“Pernyataan Abbott sangat memprihatinkan. Dengan aksi ini kami ingin memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki harga diri,” lanjut dia.
Dari pantauan CNN Indonesia, aksi ini dilakukan dengan menggelar banner bergambar Tony Abbott sembari ditaburi dengan kepingan koin dari pejalan kaki yang lewat.
Aksi serupa sebelumnya juga digelar di Aceh. Pernyataan PM Australia Tony Abbott yang mengaitkan bantuan tsunami untuk Indonesia pada 2004 silam dengan hukuman mati mendapat kecaman dari masyarakat Aceh. Sebagai bentuk protes, Kesatuaan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh membuka posko pengumpulan koin untuk Australia.
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan balas budi atas bantuan yang diberikan Australia dengan membatalkan hukuman mati kepada terpidana mati kasus narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Namun, warga Aceh menganggap PM Australia tersebut seharusnya malu dengan komentar yang diungkapkannya dan mereka dengan senang hati akan mengembalikan uangnya.
Bahkan, Warga Aceh meluapkan kekecewaannya dengan menggalang gerakan mengumpulkan koin untuk membayar kembali uang bantuan dari negeri Kangguru itu.
Selain itu, gerakan yang menjadi bentuk protes ini juga ramai diperbincangkan di Twitter. Warga Aceh menggunakan tanda pagar #KoinUntukAustralia untuk melampiaskan kemarahan kepada pemimpin Australia.
Rencananya, koin yang terkumpul nantinya akan langsung diberikan kepada pemerintah melalui Pemkot DKI Jakarta ataupun lembaga tertentu.
Sudut Pandang
Penulis artikel intelijen P. ramelan sempat bertanya kepada salah satu pejabat di BKPM apa kerugian Indonesia apabila Australia melakukan embargo ekonomi misalnya. Dari informasinya, masalah utama adalah kita akan kekurangan suplai daging sapi. Sementara perdagangan lainnya tidak terlalu besar dan mengganggu. Demikian juga, walaupun warga Australia diimbau melakukan boikot ke Bali, nampaknya tidak akan "mempan" karena Bali rumah kedua warganya yang ingin berlibur. Nah, berbicara langkah antisipasi, persoalannya adalah komunikasi atau diplomasi politik belum tertata dengan rapih. Disinilah peran para diplomat kita untuk meyakinkan negara akreditasi dimana mereka ditugaskan. Perlu menjelaskan bahwa Indonesia seperti dikatakan Presiden Jokowi sudah darurat narkoba, karena itu sudah tiada maaf bandar besar akan dihukum mati. Perdagangan, produksi dan konsumsi narkoba sudah demikian besar dan mengakar di Indonesia. Kita tidak akan mau mengorbankan bangsa dan negara hanya untuk menyelamatkan dua bandar narkoba. Ketegasan Indonesia karena kita tidak ingin mafia narkoba serta jaringannya menguasai harkat hidup rakyat banyak. Jadi langkah antisipasi preventif jauh hari sebelum pelaksanaan eksekusi menjadi tanggung jawab para diplomat kita. Dilain sisi, unsur pertahanan dan keamanan sebaiknya menyiagakan kekuatannya untuk menghidari raid pendadakan. Intelijen sebaiknya terus memonitor apa langkah yang akan dilakukan Australia serta sekutunya. Apa resiko yang akan didapat Indonesia dalam kondisi yang berlaku. Tentang sudut pandang analisis, apabila tidak terjadi, paling tidak kita sudah terus bersiaga menghadapi kondisi terburuk. Dan apabila kita siap siaga, Australia akan berfikir ulang apabila di benaknya terfikir akan melakukan langkah penyelamatan ekstrem. Semoga saja tidak. (Tetapi pikiran ini menyatakan "who knows?"). Australia terlatih melakukan intervensi ke negara lain. Kinipun tanpa ijin pemerintah Syria, mereka juga bergabung dengan AS melakukan penggempuran udara di negara tersebut. Penulis mengingatkan bahwa resiko kerugian besar bisa terjadi apabila Abbott nekat mau mencoba semacam operasi Geronimo di sini. Jangan pandang enteng Indonesia, jangan sepelekan Indonesia. Yang penting mari sepakat kita berantas Narkoba. Kalau ada warga Indonesia tertangkap di Australia terkait narkoba, kita ikhlas-ikhlas saja, kita wakafkan mereka, hukum saja yang berat.
“Kami minta pemerintah konsisten dalam menegakan hukum. Jangan terpengaruh pihak asing manapun termasuk ucapan Tony Abbott,” ujar Stenli menegaskan.
Ia menambahkan gerakan ini juga dilakukan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki martabat di mata dunia. Ia menilai, ucapan yang dilontarkan Tony Abbott sangat tidak sesuai dengan etika Internasional.
“Pernyataan Abbott sangat memprihatinkan. Dengan aksi ini kami ingin memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki harga diri,” lanjut dia.
Dari pantauan CNN Indonesia, aksi ini dilakukan dengan menggelar banner bergambar Tony Abbott sembari ditaburi dengan kepingan koin dari pejalan kaki yang lewat.
Aksi serupa sebelumnya juga digelar di Aceh. Pernyataan PM Australia Tony Abbott yang mengaitkan bantuan tsunami untuk Indonesia pada 2004 silam dengan hukuman mati mendapat kecaman dari masyarakat Aceh. Sebagai bentuk protes, Kesatuaan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh membuka posko pengumpulan koin untuk Australia.
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan balas budi atas bantuan yang diberikan Australia dengan membatalkan hukuman mati kepada terpidana mati kasus narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Namun, warga Aceh menganggap PM Australia tersebut seharusnya malu dengan komentar yang diungkapkannya dan mereka dengan senang hati akan mengembalikan uangnya.
Bahkan, Warga Aceh meluapkan kekecewaannya dengan menggalang gerakan mengumpulkan koin untuk membayar kembali uang bantuan dari negeri Kangguru itu.
Selain itu, gerakan yang menjadi bentuk protes ini juga ramai diperbincangkan di Twitter. Warga Aceh menggunakan tanda pagar #KoinUntukAustralia untuk melampiaskan kemarahan kepada pemimpin Australia.
Rencananya, koin yang terkumpul nantinya akan langsung diberikan kepada pemerintah melalui Pemkot DKI Jakarta ataupun lembaga tertentu.
Sudut Pandang
Penulis artikel intelijen P. ramelan sempat bertanya kepada salah satu pejabat di BKPM apa kerugian Indonesia apabila Australia melakukan embargo ekonomi misalnya. Dari informasinya, masalah utama adalah kita akan kekurangan suplai daging sapi. Sementara perdagangan lainnya tidak terlalu besar dan mengganggu. Demikian juga, walaupun warga Australia diimbau melakukan boikot ke Bali, nampaknya tidak akan "mempan" karena Bali rumah kedua warganya yang ingin berlibur. Nah, berbicara langkah antisipasi, persoalannya adalah komunikasi atau diplomasi politik belum tertata dengan rapih. Disinilah peran para diplomat kita untuk meyakinkan negara akreditasi dimana mereka ditugaskan. Perlu menjelaskan bahwa Indonesia seperti dikatakan Presiden Jokowi sudah darurat narkoba, karena itu sudah tiada maaf bandar besar akan dihukum mati. Perdagangan, produksi dan konsumsi narkoba sudah demikian besar dan mengakar di Indonesia. Kita tidak akan mau mengorbankan bangsa dan negara hanya untuk menyelamatkan dua bandar narkoba. Ketegasan Indonesia karena kita tidak ingin mafia narkoba serta jaringannya menguasai harkat hidup rakyat banyak. Jadi langkah antisipasi preventif jauh hari sebelum pelaksanaan eksekusi menjadi tanggung jawab para diplomat kita. Dilain sisi, unsur pertahanan dan keamanan sebaiknya menyiagakan kekuatannya untuk menghidari raid pendadakan. Intelijen sebaiknya terus memonitor apa langkah yang akan dilakukan Australia serta sekutunya. Apa resiko yang akan didapat Indonesia dalam kondisi yang berlaku. Tentang sudut pandang analisis, apabila tidak terjadi, paling tidak kita sudah terus bersiaga menghadapi kondisi terburuk. Dan apabila kita siap siaga, Australia akan berfikir ulang apabila di benaknya terfikir akan melakukan langkah penyelamatan ekstrem. Semoga saja tidak. (Tetapi pikiran ini menyatakan "who knows?"). Australia terlatih melakukan intervensi ke negara lain. Kinipun tanpa ijin pemerintah Syria, mereka juga bergabung dengan AS melakukan penggempuran udara di negara tersebut. Penulis mengingatkan bahwa resiko kerugian besar bisa terjadi apabila Abbott nekat mau mencoba semacam operasi Geronimo di sini. Jangan pandang enteng Indonesia, jangan sepelekan Indonesia. Yang penting mari sepakat kita berantas Narkoba. Kalau ada warga Indonesia tertangkap di Australia terkait narkoba, kita ikhlas-ikhlas saja, kita wakafkan mereka, hukum saja yang berat.
saya pribadi hanya mengingat wejangan khusus sang proklamator RI, Ir. Soekarno
" Bebek selalu bersama kawanannya, tapi GARUDA selalu terbang sendirian ".
Intervensi asing yang bertujuan untuk melemahkan kedaulatan NKRI bukan
sekali ini saja dilakukan dan akan selalu muncul. Kejadian ini tentu
pada akhirnya ada relevansinya dengan kelanjutan pengadaan Alutsista.
Cepat atau lambat harus dilakukan penegasan aturan main secara tertulis
atas upaya pembebasan penjahat seperti penjahat narkoba yang
dilakukan warga negara asing atas kegiatan kejahatan di wilayah NKRI.
Salah satu ganti atau tebusan bagi pembebasan warga negara asing yang
akan dieksekusi mati di Indonesia bisa jadi mencontoh diplomasi yang
pernah dilakukan Presiden Soekarno dengan misal menetapkan 1 nyawa warga
negara asing ditebus dengan 1 buah Hercules versi terbaru atau
alutsista dengan jenis tertentu. Hal ini pasti akan membuat pemerintahan
negara asing yang akan usil mengganggu kedaulatan NKRI berpikir ulang. Ya, negara ini dikelilingi oleh perkumpulan mainstream hegemoni barat, kitalah yang bebas merdeka mengatur dan melajur arah tujuan negeri ini. Senyampang demi kemaslahatan umat dan tegaknya NKRI, maka kami mendukung apapun keputusan pemimpin kami, berperangpun tiada menepi. Trah kami adalah pejuang, yang telah lama mengukir sejarah peperangan dimuka bumi ini. Perang memang peradaban tua dan usang, tapi jika kita ingin damai maka kitapun harus siap berperang. Demi NKRI, jiwa raga kami....Jayalah Indonesia, MERDEKA !! (rain015)
Tidak semua orang Indonesai setuju dgn Hukuman MATI. Sikap pemerintah Indonesia mendua karena ketidak- mampaun lembaga2 seperti Polri dan bea cukai untuk menghadang bahaya narkoba. Nah silahkan renungkan bukankah anggauta POLRI yg disumpah terhadap bangsa dan negara jyg terlibat narkoba juga harus dihukum mati- karena dosanya justru lebih besar dari pada pengedar narkoba. Saya copas berita di utube" Published on Dec 31, 2014
BalasHapusAV-Banda Aceh: Kepolisian Daerah Aceh telah memberhentikan dengan tidak hormat 27 anggotanya karena melakukan pelanggaran fatal. Ke 27 anggota polisi ini dipecat karena terlibat kasus narkoba, Rabu (31/12). https://www.youtube.com/watch?v=mzq-7LipALg
Lanjut terus...kl perlu hukum mati sekalian Si "ABUD" klnmasih banyak cocot
BalasHapusLanjut terus...kl perlu hukum mati sekalian Si "ABUD" klnmasih banyak cocot
BalasHapus