17 April 2012

BENANG MERAH


7 Oktober 1965 sore
Tiga orang menyelinap disekitar pekarangan koh Liem. Mereka nampak  waspada dan berhati-hati ketika mengetuk pintu rumah warga tionghoa tersebut. Tak menunggu lama, seraut wajah familiar muncul dari balik pintu. Salah seorang nampak berbisik disusul isyarat pemilik rumah agar mereka segera bergegas masuk. Dengan wajah  tegang,  bergegas mereka memasuki rumah  dan detik berikutnya pintu telah terkunci kembali. Suasana kembali lengang, sunyi dan lebih  mencekam. Raja siang beberapa detik lalu telah terbenam tertelan pagar gunung disebelah barat desa. Sisa warna merah dilangit telah membentuk goresan abstrak bermotif bunga semburat darah. Tak ada yang tahu bila mungkin langit telah memberi gambaran dan isyarat dari beberapa hari kejadian penting  di republik ini. Atau sebuah pertanda buruk yang takkan lama lagi menimpa desa ini. Entahlah….


Pukul 18.13 bbwi 
Sekelompok orang berpakaian hitam-hitam nampak garang membawa senjata tajam beraneka ragam. Mereka bergerombol didepan rumah seorang tokoh desa dengan sikap dan wajah  sangat serius. Dibagian dalam rumah nampak beberapa orang berpakaian mirip tentara sedang berbincang dengan seorang lelaki setengah tua  yang berperawakan kurus. Dialah yang menatap tajam dan memberi isyarat  kearah salah seorang  yang berjaga, mengedipkan matanya dan pemuda yang mengenakan kain putih dikepala  itu tanggap segera bergerak membawa orang-orang bersenjata dibelakangnya kearah jalan desa. Mereka berangkat kearah utara, rumah koh Liem. Obor yang menerangi seperti tarian setan banaspati. Menggelepar cahayanya menerangi kilat kilau  tajam menambah jelas kebengisan ayun langkah kaki mereka. Sang ajal menggeram seperti  mencium bau buruannya, dengan tangan-tangan maut  siap siaga  menunaikan tugasnya. Dibalik rimbun bambu ujung pertigaan jalan desa jumlah mereka bertambah, semakin banyak dan semakin beragam senjata yang dibawa. Malam yang mencekam, gelayut awan gelap menutupi redup cahaya bulan. Melebar menjadi selimut kegelapan  yang merangkak  menutupi  pijar bintang-bintang. Semua bersembunyi seolah  enggan bersaksi atas  adegan dendam  revolusi dan perbedaan ideologi.


Pukul 19.30 bbwi
Berdarah-darah seluruh badan mereka yang diseret beramai-ramai tanpa belas kasihan.  Bahkan salah satu dari empat tubuh malang itu sudah nampak tak bergerak lagi. Wajah mereka  tertutupi karung  beras. Sepanjang jalanpun tubuh-tubuh malang itu  ditendang, dipukul dan dimaki-maki. Tak terukur ambang siksa yang mereka alami hingga menoreh pagar ingatan bahwa tak ada beda antara kelakuan binatang atau tingkah manusia. Mereka benar manusia namun telah dirasuki oleh setan durjana, sehingga teriakan kesakitan  orang-orang na'as tersebut  tiada terdengar. Mata yang tak jelas lagi melihat air mata dan kucuran darah duka. Sepanjang jalan, sepanjang lengkingan anjing liar dan  hingga arak-arakan mereka  terhenti didekat makam tua, didekat sungai batas desa. Ditempat itu  puluhan orang telah menunggu, berbaur mengelilingi tubuh-tubuh yang telah tak berdaya. Tubuh yang tumpang tindih dengan lilitan kawat baja pada kedua jempol tangannya. Tak lagi menyentuh rasa manusiawi ketika  hadir suasana pilu keluh dan jeritan mereka. Saat ini  hati telah tenggelam dibalik dendam. Beberapa laki-laki mendekati kearah tubuh penuh luka menganga itu. Salah seorang membuka tutup dikepala mereka, meludahi wajah mereka berkali-kali. Aksi itu  terus berlangsung dengan tamparan, cacian dan tendangan membabi buta. Semua aksi itu  berhenti ketika  sosok laki-laki setengah tua itu maju dengan wajah tanpa ekspresi,  tokoh partai itu mengarahkan sorot senter ke wajah tawanannya satu persatu sebelum sorot  senter itu mengarah ke semak-semak dekat jalan menuju sungai. Bahasa tubuh itu dipahami oleh beberapa anak buahnya yang membawa cangkul. Mereka menggali tanah, bergantian dan sangat bersemangat membuat lubang. Orang sebanyak itu hanya perlu setengah jam menyelesaikan lubang galian seluas 4x2 meter persegi. Tanpa ampun satu-persatu tubuh itu ditata berderet ditepi lobang. Seolah hewan kurban hendak disembelih, sesaat terdengar teriakan bercampur suara cairan dan udara yang keluar dari tenggorokan dileher mereka yang digorok hingga terpisah dari badan. Darah memuncrat membasahi baju hitam laki-laki tua yang menjadi algojo penyebelihan  empat orang sekaligus. Tanpa melepas ikatan ditangan mereka, keempat tubuh tak berkepala itu dilempar jatuh menimpa tumpukan kepala didasar lubang  galian. Laki-laki setengah tua itu nampak puas dengan hasil aksinya. Menjadikan tubuh mayat itu sebagai pijakan untuk beranjak dari dasar lubang. Ia memberi isyarat untuk segera menutupi lubang itu. Serempak laki-laki yang memegang cangkul maju dan mulai menguruk tanah. Menimbun  empat tubuh berikut empat kepala mereka yang terpisah. Serapat-rapatnya, seolah mereka tak ingin tinta dan pena sejarah mencatat apa yang telah terjadi malam itu. Sekejap saja tubuh-tubuh malang itu tak terlihat,  terpendam dalam rasa kepuasan atas dendam yang terbalaskan. Wajah -wajah puas yang saling tersenyum dalam gemilang kemenangan. Laki-laki setengah tua telah menjauhi sisa kekejamannya, tangannya mengepal-ngepal meneriakkan beberapa semboyan. Beberapa orang yang memegang obor  mengiringi laki-laki tua itu memberi penerangan jalan. Sementara yang lain masih menerangi orang-orang yang bergantian menguruk tanah. Menit berlalu, belum juga rata urukan tanah itu menguburkan, belum juga dua puluh langkah laki-laki tua berikut sebagian orang yang hendak mengiringinya pergi. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Mematikan semua nyala obor membuat suasana gelap gulita. Semua tercengang dan  tercekat diam oleh kejadian yang begitu mengejutkan. Orang-orang berusaha menyalakan kembali obor, tapi tiupan kencang angin membuat usaha mereka sia-sia. Bahkan lampu senter beberapa warga bersamaan tak bisa  menyala. Belum usai kebingungan mereka, sayup-sayup terdengar suara adzan. Suara yang  serak dan dalam menyiratkan makna kejiwaan, nadanya membangkitkan bulu roma. Lemah dan lirih  namun aneh karena siapapun yang ada disitu begitu jelas bisa mendengarnya. Laki-laki setengah tua itu mengguncang-guncang lampu senternya yang tak mau menyala. Nampaknya ia ingin tahu darimana asal suara tersebut, akan tetapi teriakan beberapa orang didekat lubang kematian telah memberinya arah asal suara tersebut. Suasana mencekam selama adzan yang terdengar dari dalam lubang pembantaian itu, mendadak kacau dan berubah dengan teriakan ketakutan luar biasa. Beberapa orang  berhamburan bahkan terjungkal kesungai, suasana gelap membuat mereka saling beradu dengan yang lain. Terjatuh, terjerembab dan secepat kilat bangkit kemudian lari tunggang langgang meninggalkan sisa arena pembunuhan itu. Mereka benar-benar ketakutan hingga tercerai berai. Pulang kerumah masing-masing dengan raut wajah aneh, penuh ngeri dan segunung cemas dalam sorot mata kosong menerawang. Banyak diantaranya menutupi kuat-kuat telinga saat adzan  terngiang seolah lantunan  dendam pesan kematian yang begitu lekat dalam ingatan.


8 oktober  1965, 
Pukul 07.11 bbwi dibatas desa orang kembali berkerumun. Bahkan beberapa aparat nampak berjaga-jaga. Seorang wanita paruh baya menangis histeris sambil mengguncang-guncang tubuh  yang telah terbujur kaku. Laki-laki setengah tua yang semalam menjadi algojo kini telah menjadi mayat pula. Jasadnya ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan,begitu nyata bila ia begitu ketakutan sebelum ajal menjelang. Matanya terbeliak seolah hendak keluar, mulutnya menganga,  tangan kirinya masih memegang golok dan tangan lainnya memegang lampu senter.  Tak ada  bekas luka atau memar bekas pukulan yang menandakan sebuah penganiayaan.  Polisi nampak mencari-cari petunjuk, beberapa orang segera mengangkat dan membawanya  kerumah duka. Orang-orang didesa kecil ini gempar, salah seorang tokohnya telah ditemukan tak bernyawa ditepi sungai batas desa. Banyak isu berkembang dan teka-teki yang menyimpan sejuta tanda tanya. Namun sungguh tak ada lagi yang berani bicara. Hingga waktu berlalu sekian lama , tak ada juga yang ingin  bicara tentang kejadian malam tragis itu. Tak ada yang berani mengingat apa yang telah terjadi termasuk  suara adzan  yang mereka dengar dari lubang pembantaian. Semua  tetaplah dirahasiakan.
Konon, sejak saat itu sebagian warga desa kecil ini seolah terkena kutukan. Banyak warga yang depresi,  bahkan  benar-benar stress berat hingga ajal menjemput. Entah sudah laki-laki  keberapa yang ditemukan gantung diri diatas tiang penyangga jembatan dibatas desa. Semua nyaris sama ciri-cirinya, sehari sebelum  ditemukan  mati, mereka ditemui seolah linglung hingga mengumandangkan adzan diatas rerumputan ilalang bekas aksi pembantaian oleh mereka dulu.


8 oktober 2009, 
Aku diantara kawan-kawan karang taruna bergotong royong merapikan gundukan tanah ditepi sungai batas desa. Membentuk  layaknya makam, dengan batu nisan bertuliskan nama-nama mereka yang dirahasiakan  hampir setengah abad silam. Pada warga desa ini aku tak bertanya  lagi tentang luka mereka. Bagiku telah cukup melihat reka adegan dendam politik dan tulinya kemanusiaan kala itu. Korban ideologi, korban semena-mena kekuasaan, padahal tak jarang mereka adalah orang yang sangat  teguh beribadah, meyakini  adanya Tuhan namun difitnah tak beragama lantaran wadah politiknya tak sejalan. Tak sedikit  mereka hanya orang desa dan awam, hanya simpatisan yang ingin berpartisipasi terhadap pesta demokrasi  meski tak dipungkiri  memang  ada sebagian orang-orang yang ingin dibawah kendali istana  “ merah “. Entahlah bagaimana mengartikan musibah ini sebenarnya. Yang pasti, semoga menjadi pertanda hikmah, menjadi penggugah pengalaman dari para pemimpin dan elit politik untuk tak lagi mengorbankan rakyat kecil sebagai tumbal kekuasan pribadi ataupun golongan di negara ini.










(sarirasa hujan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar