7 Oktober 1965 sore
Tiga orang menyelinap disekitar pekarangan koh Liem. Mereka nampak waspada
dan berhati-hati ketika mengetuk pintu rumah warga tionghoa tersebut. Tak
menunggu lama, seraut wajah familiar muncul dari balik pintu. Salah seorang nampak
berbisik disusul isyarat pemilik rumah agar mereka segera bergegas masuk. Dengan wajah tegang, bergegas mereka memasuki rumah dan detik berikutnya pintu telah terkunci
kembali. Suasana kembali lengang, sunyi dan lebih mencekam. Raja siang beberapa detik lalu telah terbenam tertelan
pagar gunung disebelah barat desa. Sisa warna merah dilangit telah
membentuk goresan abstrak bermotif bunga semburat darah. Tak ada yang tahu bila mungkin langit telah memberi gambaran dan isyarat
dari beberapa hari kejadian penting di republik
ini. Atau sebuah pertanda buruk yang takkan lama lagi menimpa desa ini. Entahlah….
Sekelompok orang berpakaian hitam-hitam nampak garang membawa
senjata tajam beraneka ragam. Mereka bergerombol didepan rumah seorang tokoh
desa dengan sikap dan wajah sangat serius. Dibagian
dalam rumah nampak beberapa orang berpakaian mirip tentara sedang berbincang dengan
seorang lelaki setengah tua yang berperawakan kurus. Dialah yang
menatap tajam dan memberi isyarat
kearah salah seorang yang berjaga, mengedipkan matanya dan pemuda yang mengenakan kain putih dikepala
itu tanggap segera bergerak
membawa orang-orang bersenjata dibelakangnya kearah jalan desa. Mereka berangkat kearah utara, rumah koh Liem. Obor yang menerangi
seperti tarian setan banaspati. Menggelepar cahayanya menerangi kilat kilau tajam menambah jelas
kebengisan ayun langkah kaki
mereka. Sang ajal menggeram seperti mencium bau buruannya, dengan tangan-tangan maut siap siaga menunaikan tugasnya. Dibalik rimbun bambu ujung
pertigaan jalan desa jumlah mereka bertambah, semakin banyak dan semakin
beragam senjata yang dibawa. Malam yang mencekam, gelayut awan gelap menutupi
redup cahaya bulan. Melebar menjadi selimut kegelapan yang merangkak menutupi pijar bintang-bintang. Semua bersembunyi seolah enggan bersaksi atas adegan dendam revolusi dan perbedaan
ideologi.
Pukul 19.30 bbwi
Berdarah-darah seluruh badan mereka
yang diseret beramai-ramai tanpa belas kasihan.
Bahkan salah satu dari empat tubuh malang itu sudah nampak tak bergerak lagi. Wajah
mereka tertutupi karung beras. Sepanjang jalanpun
tubuh-tubuh malang itu ditendang, dipukul dan dimaki-maki. Tak terukur
ambang siksa yang mereka alami hingga menoreh pagar ingatan bahwa tak ada beda antara kelakuan binatang atau tingkah manusia. Mereka benar manusia namun telah dirasuki oleh setan durjana, sehingga teriakan kesakitan
orang-orang na'as tersebut tiada terdengar. Mata yang tak jelas lagi melihat air mata dan
kucuran darah duka. Sepanjang jalan, sepanjang lengkingan anjing liar dan hingga arak-arakan mereka terhenti didekat makam tua, didekat sungai
batas desa. Ditempat itu puluhan orang telah menunggu, berbaur mengelilingi tubuh-tubuh yang
telah tak berdaya. Tubuh yang tumpang tindih dengan lilitan kawat baja pada kedua jempol tangannya. Tak lagi menyentuh
rasa manusiawi ketika hadir suasana pilu keluh dan jeritan mereka. Saat ini hati telah tenggelam dibalik dendam.
Beberapa laki-laki mendekati kearah tubuh penuh luka menganga itu. Salah
seorang membuka tutup dikepala mereka, meludahi wajah mereka berkali-kali.
Aksi itu terus berlangsung dengan tamparan, cacian dan tendangan membabi buta. Semua aksi itu berhenti ketika sosok laki-laki setengah tua itu maju dengan wajah tanpa ekspresi, tokoh partai
itu mengarahkan sorot senter ke wajah tawanannya satu persatu sebelum sorot
senter itu mengarah ke semak-semak dekat jalan menuju sungai. Bahasa tubuh itu dipahami oleh beberapa anak buahnya yang membawa cangkul. Mereka menggali
tanah, bergantian dan sangat bersemangat membuat lubang.
Orang sebanyak itu hanya perlu setengah jam menyelesaikan lubang galian seluas 4x2 meter persegi. Tanpa ampun satu-persatu
tubuh itu ditata berderet ditepi lobang. Seolah hewan kurban hendak disembelih, sesaat terdengar teriakan bercampur suara cairan dan udara yang keluar dari tenggorokan dileher mereka yang digorok hingga terpisah dari badan. Darah memuncrat membasahi baju hitam
laki-laki tua yang menjadi algojo penyebelihan empat orang sekaligus. Tanpa melepas ikatan ditangan mereka,
keempat tubuh tak berkepala itu dilempar jatuh menimpa tumpukan kepala didasar lubang galian. Laki-laki setengah tua itu nampak puas dengan hasil aksinya. Menjadikan tubuh mayat itu sebagai pijakan untuk beranjak dari dasar lubang. Ia memberi
isyarat untuk segera menutupi lubang itu. Serempak laki-laki yang
memegang cangkul maju dan mulai menguruk tanah. Menimbun empat tubuh berikut empat kepala mereka yang
terpisah. Serapat-rapatnya, seolah mereka tak ingin tinta dan pena sejarah mencatat apa yang telah terjadi malam itu. Sekejap saja tubuh-tubuh malang itu tak terlihat, terpendam dalam rasa kepuasan atas dendam yang terbalaskan. Wajah -wajah puas yang saling tersenyum dalam gemilang kemenangan. Laki-laki setengah tua telah menjauhi sisa kekejamannya, tangannya mengepal-ngepal meneriakkan beberapa semboyan. Beberapa orang yang
memegang obor mengiringi laki-laki tua
itu memberi penerangan jalan. Sementara yang lain masih menerangi orang-orang
yang bergantian menguruk tanah. Menit berlalu, belum juga rata urukan tanah itu menguburkan, belum juga dua
puluh langkah laki-laki tua berikut sebagian orang yang hendak mengiringinya pergi.
Tiba-tiba angin berhembus kencang. Mematikan semua nyala obor membuat suasana gelap gulita. Semua tercengang dan tercekat diam oleh kejadian yang begitu mengejutkan. Orang-orang berusaha menyalakan kembali obor, tapi tiupan kencang
angin membuat usaha mereka sia-sia. Bahkan lampu senter beberapa warga
bersamaan tak bisa menyala. Belum usai
kebingungan mereka, sayup-sayup terdengar suara adzan. Suara yang serak dan dalam menyiratkan makna kejiwaan, nadanya membangkitkan bulu roma. Lemah dan lirih namun aneh karena siapapun
yang ada disitu begitu jelas bisa mendengarnya. Laki-laki setengah tua itu
mengguncang-guncang lampu senternya yang tak mau menyala. Nampaknya ia ingin
tahu darimana asal suara tersebut, akan tetapi teriakan beberapa orang didekat
lubang kematian telah memberinya arah asal suara tersebut. Suasana mencekam selama adzan yang terdengar dari dalam lubang pembantaian itu, mendadak kacau dan berubah
dengan teriakan ketakutan luar biasa. Beberapa orang berhamburan bahkan terjungkal kesungai, suasana
gelap membuat mereka saling beradu dengan yang lain. Terjatuh, terjerembab dan secepat
kilat bangkit kemudian lari tunggang langgang meninggalkan sisa arena pembunuhan itu. Mereka benar-benar ketakutan hingga tercerai berai. Pulang
kerumah masing-masing dengan raut wajah aneh, penuh ngeri dan segunung cemas dalam
sorot mata kosong menerawang. Banyak diantaranya menutupi kuat-kuat telinga saat adzan terngiang seolah lantunan dendam pesan kematian yang begitu lekat dalam ingatan.
8 oktober
1965,
Pukul 07.11 bbwi dibatas desa orang kembali berkerumun. Bahkan
beberapa aparat nampak berjaga-jaga. Seorang wanita paruh baya menangis histeris
sambil mengguncang-guncang tubuh yang telah terbujur kaku.
Laki-laki setengah tua yang semalam menjadi algojo kini telah menjadi mayat
pula. Jasadnya ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan,begitu nyata bila ia begitu ketakutan sebelum ajal menjelang. Matanya terbeliak seolah hendak keluar, mulutnya menganga, tangan kirinya masih memegang golok dan tangan
lainnya memegang lampu senter. Tak ada bekas luka atau memar bekas pukulan yang menandakan sebuah
penganiayaan. Polisi nampak mencari-cari petunjuk, beberapa orang segera mengangkat dan
membawanya kerumah duka. Orang-orang
didesa kecil ini gempar, salah seorang tokohnya telah ditemukan tak bernyawa
ditepi sungai batas desa. Banyak isu berkembang dan teka-teki yang menyimpan sejuta tanda tanya. Namun
sungguh tak ada lagi yang berani bicara. Hingga waktu berlalu sekian lama , tak ada
juga yang ingin bicara tentang kejadian malam tragis itu. Tak ada yang berani
mengingat apa yang telah terjadi termasuk suara adzan yang mereka dengar dari lubang
pembantaian. Semua tetaplah dirahasiakan.
Konon, sejak saat itu sebagian warga desa kecil ini seolah terkena kutukan. Banyak warga yang depresi,
bahkan benar-benar stress berat hingga ajal menjemput. Entah sudah laki-laki keberapa yang ditemukan gantung diri diatas tiang penyangga jembatan dibatas desa. Semua nyaris sama ciri-cirinya, sehari sebelum ditemukan mati, mereka ditemui seolah linglung hingga mengumandangkan adzan diatas rerumputan ilalang bekas aksi pembantaian oleh mereka dulu.
8 oktober 2009,
Aku diantara kawan-kawan karang
taruna bergotong royong merapikan gundukan tanah ditepi sungai batas desa.
Membentuk layaknya makam, dengan batu
nisan bertuliskan nama-nama mereka yang dirahasiakan hampir setengah
abad silam. Pada warga desa ini aku tak bertanya lagi tentang luka mereka. Bagiku telah cukup melihat reka adegan dendam politik dan tulinya
kemanusiaan kala itu. Korban ideologi, korban semena-mena kekuasaan, padahal tak jarang mereka adalah orang yang sangat teguh beribadah, meyakini adanya Tuhan namun difitnah tak
beragama lantaran wadah politiknya tak sejalan. Tak sedikit mereka hanya orang desa dan awam, hanya simpatisan yang ingin berpartisipasi terhadap pesta
demokrasi meski tak dipungkiri memang ada sebagian orang-orang yang ingin dibawah kendali istana “ merah “. Entahlah bagaimana mengartikan musibah ini sebenarnya. Yang pasti, semoga menjadi pertanda hikmah, menjadi penggugah pengalaman dari para pemimpin dan elit
politik untuk tak lagi mengorbankan rakyat kecil sebagai tumbal kekuasan
pribadi ataupun golongan di negara ini.
(sarirasa hujan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar