01 April 2012

SATIRE JALANAN

Semalaman kemarin aku tak lena, menyusun rencana. Berjam-jam berdiskusi tentang gambar dan tulisan yang akan kami bawa. Menyusun kerangka gerakan dan tuntutan yang akan kami teriakkan.. Banyak kawan disini berkumpul. Jam 02.00 dini hari aku telah terkulai diatas poster dan spanduk yang esok akan kami bawa.Tenaga yang kuforsir sejak pagi telah menuntunku kearah nisbi. Aku lelah....



    Aku mengacungkan tangan , " Tolak kenaikan harga BBM  !! " .Yel-yel diteriakkan bersahutan sepanjang jalan.
    Begitu ramai yang datang dan bergabung dengan warna berbeda, sejuta slogan meretas angkasa. " Hanya keparat yang tega membuat rakyat melarat " maka mulailah spanduk dan slogan  lainnya dibentangkan. Disisi sang  saka merah putih serta barisan penegak dan pengibar panji-panji kebesaran. Terdepan  rombongan kami memimpin,  berbaris menuju gedung rakyat. Entahlah, awan seolah memayungi kami dengan warnanya hitam. Meredupkan sang tiran siang hingga nyaris samar. Aku merasa kondisi alam hari ini telah memihak kami, apakah penghuni langit telah merestui gerakan kami ini ?? Semakin lantang kami menetang, semakin garang kami menerjang aral. Bergerak, maju dan terus merangsek bak raksasa. Dekat dan semakin dekat.... 


    Aku terdorong maju berhadapan para ksatria dibalik pagar berduri, mereka menyeringai. Akupun meraung tak peduli. Terus menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu nasional. Terus, hingga terasa kering dan serak suara ini. Aku menepi, kuteguk minuman kaleng pemberian simpatisan dijalan. Sedikit melegakan,  saat bermandi peluh disekujur badan. Aku memperhatikan kawan-kawan sesama korlap bergantian berorasi membangkitkan nyali. Mencoba memberitahu apa yang rakyat ini rasa dan kami anggap kerisauan. Tentang kami   yang menghadapi masa depan dalam situasi penuh kegalauan. Bukankah kami bagian negara ini, yang ingin didengar saat kami menyampaikan harapan, membuka kebuntuan jalan, membuka mata dan telinga terhadap keadilan, perbaikan dan perlindungan. Kami rakyat Indonesia ingin tenang tanpa bayang ketidak mampuan saat semua berubah mahal. Kemua ingin kalian menmbuktikan bahwa yang kalian lakukan digedung rakyat adalah untuk rakyat, bukan hanya tidur dan membahas anggaran untuk liburan. Sebab kami miliki pertanyaan, apakah  sekian tahun kalian menjadi wakil kami telah memberi   perbaikan...?? Jawablah, Sudahkah kami dijadikan pertimbangan diatas kepentingan pribadi dan golongan ?? Kami disini memiliki alasan, teriakan bersama menolak konspirasi dan janji  busuk kalian. Kami  muak dengan sandiwara dan celoteh sok moralis. Rakyat telah bersabar dengan hanya  sinis melihat akting  murahan, begitu muak melihat kalian berdebat dan berkomentar di teve dan koran, 
Sudah sangat hafal, bukankah lama kami hanya dijadikan bahan bahasan  dan alasan kepentingan berlabel " DEMI DAN UNTUK RAKYAT " ??  Heem, sungguh malang bagi kami, melihat kalian memang sekumpulan badut  bajingan berdasi  !!


    3 jam berlalu dan  bergantian rekan-rekan berorasi, dari barisan  aparat selintas aku seperti mengenali wajah dibalik tameng polisi. Menatapku tajam tanpa samar menyisakan raut pengharapan penuh was-was. Membuatku tertunduk tak membalas.  Kalian tahu ? rasanya mendadak  begitu banyak hal berkecamuk dikepala, mengeras didada menjadi begitu aneh dan jengah  berhadapan seperti ini dengannya. Aku beranikan diri  membalas tatap itu dan  tersenyum, aku ingin memberi kepastian bahwa harapannya tak akan sia-sia. Aku juga  ingin menyampaikan getir yang tiba-tiba menyeruak nadirku. Tapi  sayangnya tak  kulihat lagi, wajah itu  telah tersembunyi  dibalik tameng yang membatasi kami setelah kawat berduri. Entah darimana asalnya tiba-tiba terdengar ledakan. Membuat pekak telinga. Menimbulkan teriakan, kepanikan  serta suasana yang berubah kacau. Tak  menunggu kaget ini usai, maka   mulailah bunga ledakan demi ledakan membahana. Kepulan dan kilatan  asap perih gas air mata. Semburan meriam air yang menerjang serta batu-batu yang berterbangan dari mana-mana. Akupun semburat berusaha menghindar dibalik pot bunga penghias jalan. Lama terdiam, bertahan tanpa bisa berpikir apa. Nafas memburu, dada sesak.  Sungguh seolah terhimpit dalam begitu banyak serangan, terpukul dan terpojok. Tak bisa berbuat apa  dan seolah begitu tolol dalam situasi genting ini. Kuhela nafas dalam-dalam,  aku ingin keluar dari tekanan ini....
Dengan beberapa teriakan kulakukan agar hilang ketakutan yang mendadak bercampur resapan perih dimata ini.
   Dibelakangku, beberapa kawan juga bersembunyi dari kejaran lontaran air dahsyat. Teman sekontrakanku mal`h telah pucat pasi dengan segumaman do'a-do'a yang tergeletar. Cukup lama situasi mencekam dan tak ada yang bisa mengendalikan. Semua tak sesuai rencana, berubah total.
   Aku seperti dalam luas padang sabana, dengan kuda-kuda Bima dalam kekang pemegang tombak. Menderap, menerjang lawan. Menjerit hingga terkapar. Dan aku seolah terhempas dalam beliung pesisir utara, terjebak gempa larantuka. Seperti tsunami keberanian datang menggulung kesenyapan dan kekerdilan dihati. Mata merahku mulai menyiram bara api, membakar hingga pori-pori dan membuka tudung saji emosi......

    Barisan  tak rapi lagi, mereka tercerai berai. Bahkan beberapa orang telah terkapar mengerang kesakitan. Suasana beradu padu antara amarah dan pilu. Dan kami telah terobek amuk meradang akut melihat gelimpangan kawan berjatuhan tanpa ada yang berani mendekati...


Aku Merah dan putih...
Terhelai dijalanan tanpa ada lagi yang peduli....
Mengiris dijiwa ini...
Ada pilu menyikut kalbu....
Padahal, demi tegaknya ini kami menyebut reformasi...
Seperti pahlawan yang telah gugur  demi revolusi...
Dengan harga mati tegaknya republik ini....
Sekarang disini, dibawah hujan batu dan terjangan meriam air...
Berteriak ...
Mendekat berusaha terus menggapai....
Tak sudi peduli selain ingin tegakkan panji ini....
Dan aku telah meraihnya....
Mengangkatnya tinggi-tinggi.....
Seperti dalam naungnya...
Kibas kibar lemahnya menandakan luka
Aku seperti memahami dukanya...
Terbawa seolah lusuhnya bercerita tentang nestapa...
Merayu, menghipnotisku dengan lambaiannya....
Aku tak peduli saat beberapa rasa menghujam dada...
Aku tak peduli ketika sebagian terasa di punggung dan kaki....
Kupejam mata,  aku takut  berasa ingin apa dan merasa apa...
Sebab telah ada yang meleleh didahi...
Tahu bila ada yang telah sampai dileher dan dada ini....
Aku tak peduli....
Tak akan pernah mau peduli....
Semakin erat kugenggam ...
Semakin tinggi kujunjung...

Sosok bayangan bergerak melambai...
 Berteriak  panik...
Memancing untuk sedikit membuka mata 
Nanap nanar  aku cukup mengetahuinya...
Sangat kenal...
Begitu hafal cara dia berlari...
Mendekat seperti saat menggiring bola mengecoh lawan...
Terhuyungku kearahnya
Ambrukku diujung raihannya
Terenyuh merebak  getaran jiwa ..
Segemetar lirih sang saka . ..

Terasa sekali sentuhannya....
Memeluk melindungi...
Mendekapku erat ....
Memerahkan seragamnya dengan darah...
Darahku....
Darah anak kandungnya sendiri.....
Menggema rasanya semua suara....
Atau kadang hening seketika....
Senyumanku menatap...
Dalam pelukan ayah, dibawah kibar merah putih ...
Aku bertahan menggenggam...
Meski perih...
Meski semakin hebat gemetar....
Telah terlanjur bagiku sempurna dalam bangga...
Meski akhirnya aku semakin merasa samar....
Tempat ini  seolah sempurna berubah...
Tak lagi  didepan gerbang gedung rakyat...
Sebab tak ada lagi slogan...
Tak ada lagi spanduk dibentangkan...
Semua berubah warna menjadi bayang...
Tertinggal beberapa kali panggilan...
Buram guram juga gumaman...
Ah, aku lelah...
Aku ingin tidur...
Aku telah temukan tempat yang nyaman...
Dalam dekapan ayah....
Melenakan....
Menggiringku dalam kelok-kelok jalan pegunungan dijagad ini..
Dibawah naungan sang saka negara...
Sang panji negeri....
Kukibarkan bangga...
Mengenalkan bangga pada dunia...
Identitas negeri ini...
Merah dan putih...


(Bagiku, lebah-lebah revolusi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar