Semalaman kemarin aku tak lena, menyusun rencana. Berjam-jam berdiskusi tentang gambar dan tulisan yang
akan kami bawa. Menyusun kerangka gerakan dan tuntutan yang akan kami
teriakkan.. Banyak kawan disini berkumpul. Jam 02.00 dini hari aku telah terkulai diatas poster dan
spanduk yang esok akan kami bawa.Tenaga yang kuforsir sejak pagi telah
menuntunku kearah nisbi. Aku lelah....
Aku mengacungkan tangan , " Tolak kenaikan harga BBM !! " .Yel-yel diteriakkan bersahutan sepanjang jalan.
Begitu ramai yang datang dan
bergabung dengan warna berbeda, sejuta slogan meretas angkasa. " Hanya
keparat yang tega membuat rakyat melarat " maka mulailah
spanduk dan slogan lainnya dibentangkan. Disisi sang saka merah putih
serta barisan penegak dan pengibar
panji-panji kebesaran. Terdepan rombongan kami memimpin, berbaris
menuju gedung rakyat.
Entahlah, awan seolah memayungi kami dengan warnanya hitam. Meredupkan
sang tiran siang hingga nyaris samar. Aku merasa kondisi alam hari ini
telah memihak kami, apakah penghuni langit telah merestui gerakan kami
ini ?? Semakin lantang kami menetang,
semakin garang kami menerjang aral. Bergerak, maju dan terus merangsek
bak raksasa. Dekat dan semakin dekat....
Aku terdorong maju berhadapan
para ksatria dibalik pagar berduri, mereka menyeringai. Akupun meraung
tak peduli. Terus menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu nasional.
Terus,
hingga terasa kering dan serak suara ini. Aku menepi, kuteguk minuman
kaleng pemberian simpatisan dijalan. Sedikit melegakan, saat bermandi
peluh disekujur badan. Aku memperhatikan kawan-kawan sesama korlap
bergantian berorasi
membangkitkan nyali. Mencoba memberitahu apa yang rakyat ini rasa dan
kami anggap kerisauan. Tentang kami yang menghadapi masa depan dalam
situasi penuh kegalauan. Bukankah kami bagian negara ini, yang ingin
didengar saat kami
menyampaikan harapan, membuka kebuntuan jalan, membuka mata dan telinga
terhadap keadilan, perbaikan dan
perlindungan. Kami rakyat Indonesia ingin tenang tanpa bayang ketidak
mampuan saat semua
berubah mahal. Kemua ingin kalian menmbuktikan bahwa yang kalian lakukan
digedung
rakyat adalah untuk rakyat, bukan hanya tidur dan membahas anggaran
untuk liburan. Sebab kami miliki pertanyaan, apakah sekian tahun kalian
menjadi
wakil kami telah memberi perbaikan...?? Jawablah, Sudahkah kami
dijadikan pertimbangan diatas kepentingan pribadi dan golongan ?? Kami
disini memiliki alasan, teriakan bersama menolak konspirasi dan janji
busuk kalian. Kami muak dengan sandiwara dan celoteh sok moralis.
Rakyat telah bersabar dengan hanya sinis melihat akting murahan,
begitu muak melihat kalian berdebat dan berkomentar di teve dan koran,
Sudah sangat hafal, bukankah lama kami
hanya dijadikan bahan bahasan dan alasan kepentingan berlabel " DEMI
DAN UNTUK RAKYAT " ?? Heem, sungguh malang bagi kami, melihat kalian
memang sekumpulan badut bajingan berdasi !!
3 jam berlalu dan bergantian
rekan-rekan
berorasi, dari barisan aparat selintas aku seperti
mengenali wajah dibalik tameng polisi. Menatapku tajam tanpa samar
menyisakan raut pengharapan penuh was-was. Membuatku tertunduk tak
membalas. Kalian tahu ? rasanya mendadak begitu banyak hal berkecamuk
dikepala,
mengeras didada menjadi begitu aneh dan jengah berhadapan seperti ini
dengannya. Aku beranikan diri membalas tatap itu
dan tersenyum, aku ingin memberi kepastian bahwa harapannya tak akan
sia-sia. Aku juga ingin menyampaikan getir yang tiba-tiba menyeruak
nadirku. Tapi sayangnya
tak kulihat lagi, wajah itu telah tersembunyi dibalik tameng yang
membatasi kami setelah kawat berduri. Entah
darimana asalnya tiba-tiba terdengar ledakan. Membuat pekak telinga.
Menimbulkan teriakan, kepanikan serta suasana yang berubah kacau. Tak
menunggu kaget ini usai, maka mulailah bunga ledakan demi ledakan
membahana.
Kepulan dan kilatan asap perih gas air mata. Semburan meriam air yang
menerjang serta batu-batu yang berterbangan dari mana-mana. Akupun
semburat berusaha menghindar dibalik pot bunga penghias jalan. Lama
terdiam, bertahan tanpa bisa berpikir apa. Nafas memburu, dada sesak.
Sungguh seolah terhimpit dalam begitu banyak serangan, terpukul dan
terpojok. Tak bisa berbuat apa dan seolah begitu tolol dalam situasi
genting ini. Kuhela nafas dalam-dalam, aku ingin keluar dari tekanan
ini....
Dengan beberapa teriakan kulakukan agar hilang ketakutan yang mendadak bercampur resapan perih dimata ini.
Dibelakangku, beberapa kawan juga bersembunyi dari kejaran lontaran air
dahsyat. Teman sekontrakanku mal`h telah pucat pasi dengan segumaman
do'a-do'a yang tergeletar. Cukup lama situasi mencekam dan tak ada yang
bisa mengendalikan. Semua tak sesuai rencana, berubah total.
Aku seperti dalam luas padang sabana, dengan kuda-kuda Bima dalam
kekang pemegang tombak. Menderap, menerjang lawan. Menjerit hingga
terkapar. Dan aku seolah terhempas dalam beliung pesisir utara, terjebak
gempa larantuka. Seperti tsunami keberanian datang menggulung
kesenyapan dan kekerdilan dihati. Mata merahku mulai menyiram bara api,
membakar hingga pori-pori dan membuka tudung saji emosi......
Barisan tak rapi lagi, mereka tercerai berai. Bahkan beberapa
orang telah terkapar mengerang kesakitan. Suasana beradu padu antara
amarah dan pilu. Dan kami telah terobek amuk meradang akut melihat
gelimpangan kawan berjatuhan tanpa ada yang berani mendekati...
Aku Merah dan putih...
Terhelai dijalanan tanpa ada lagi yang peduli....
Mengiris dijiwa ini...
Ada pilu menyikut kalbu....
Padahal, demi tegaknya ini kami menyebut reformasi...
Seperti pahlawan yang telah gugur demi revolusi...
Dengan harga mati tegaknya republik ini....
Sekarang disini, dibawah hujan batu dan terjangan meriam air...
Berteriak ...
Mendekat berusaha terus menggapai....
Tak sudi peduli selain ingin tegakkan panji ini....
Dan aku telah meraihnya....
Mengangkatnya tinggi-tinggi.....
Seperti dalam naungnya...
Kibas kibar lemahnya menandakan luka
Aku seperti memahami dukanya...
Terbawa seolah lusuhnya bercerita tentang nestapa...
Merayu, menghipnotisku dengan lambaiannya....
Aku tak peduli saat beberapa rasa menghujam dada...
Aku tak peduli ketika sebagian terasa di punggung dan kaki....
Kupejam mata, aku takut berasa ingin apa dan merasa apa...
Sebab telah ada yang meleleh didahi...
Tahu bila ada yang telah sampai dileher dan dada ini....
Aku tak peduli....
Tak akan pernah mau peduli....
Semakin erat kugenggam ...
Semakin tinggi kujunjung...
Sosok bayangan bergerak melambai...
Berteriak panik...
Memancing untuk sedikit membuka mata
Nanap nanar aku cukup mengetahuinya...
Sangat kenal...
Begitu hafal cara dia berlari...
Mendekat seperti saat menggiring bola mengecoh lawan...
Terhuyungku kearahnya
Ambrukku diujung raihannya
Terenyuh merebak getaran jiwa ..
Segemetar lirih sang saka . ..
Terasa sekali sentuhannya....
Memeluk melindungi...
Mendekapku erat ....
Memerahkan seragamnya dengan darah...
Darahku....
Darah anak kandungnya sendiri.....
Menggema rasanya semua suara....
Atau kadang hening seketika....
Senyumanku menatap...
Dalam pelukan ayah, dibawah kibar merah putih ...
Aku bertahan menggenggam...
Meski perih...
Meski semakin hebat gemetar....
Telah terlanjur bagiku sempurna dalam bangga...
Meski akhirnya aku semakin merasa samar....
Tempat ini seolah sempurna berubah...
Tak lagi didepan gerbang gedung rakyat...
Tak lagi didepan gerbang gedung rakyat...
Sebab tak ada lagi slogan...
Tak ada lagi spanduk dibentangkan...
Semua berubah warna menjadi bayang...
Tertinggal beberapa kali panggilan...
Buram guram juga gumaman...
Ah, aku lelah...
Aku ingin tidur...
Aku telah temukan tempat yang nyaman...
Dalam dekapan ayah....
Melenakan....
Menggiringku dalam kelok-kelok jalan pegunungan dijagad ini..
Dibawah naungan sang saka negara...
Sang panji negeri....
Kukibarkan bangga...
Mengenalkan bangga pada dunia...
Identitas negeri ini...
Merah dan putih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar