Aksi penangkapan militer Belanda terhadap anggota TRI, laskar, anggota jaringan gerakan bawah tanah dan sipil membuat penjara Bondowoso tidak mampu lagi menampung tahanan
yang pada waktu itu mencapai ± 637 orang. Dengan tanpa memperdulikan kondisi dan keselamatan para tahanan, militer Belanda berniat memindahkan mereka ke penjara Surabaya dengan menggunakan kereta api.
Rencananya setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pada awalnya pemindahan
pertama dan kedua para
tahanan masih diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Pemindahan tahap
ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanannya masyarakat dilarang mendekati gerbong. Dan inilah tinta darah sejarah dituliskan dengan pilu. Namun dalam sejarah akan mengukirnya dengan puisi bertinta emas, pengorbanan para pejuang bangsa sekaligus simbol kebiadaban militer Belanda pasca proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang seharusnya seluruh dunia tahu dan membuat mata dan telinga dunia mestinya terbuka, bahwa kota kecil ini telah memiliki catatan juga tentang kejahatan perang. Pelanggaran HAM dan pembantaian massal yang dilakukan oleh militer Belanda dan hanya terkemas sederhana saat ini dalam tonggak monumen, " GERBONG MAUT ".
Kronologis :
Komandan J . Van den Dorpe, Kepala Penjara mengumpulkan semua tahanan
yang telah tercatat namanya. Pada hari Sabtu, 23 November 1947, jam 04.00 WIBB, tahanan dikumpulkan di depan penjara. Dengan rincian sebagai berikut: anggota TRI (30 orang), Laskar kerakyatan dan jaringan bawah tanah (30 orang), tahanan sipil dan polisi (20 orang), masyarakat desa (20 orang). Pada jam 05.30 WIBB tahanan dibawa ke Stasiun Kereta Api Bondowoso. Rinciannya adalah :
Gerbong GR 5769 berisi 32 orang ,gerbong GR 4416 berisi 30 orang dan sisanya dimasukkan dalam gerbong terakhir, rakitan baru GR 10152 dengan type lebih panjang.
Kereta digandeng sekitar jam 07.00 WIBB saat kereta dari arah Situbondo datang. Pada saat itu juga rangkaian kereta maut itu diberangkatkan menuju penjara di Surabaya. Perjalanan yang lebih tepat disebut sebuah sistem pembantaian. Kebiadaban yang terangkai dalam epic kematian kolosal tak berperikemanusiaan. Gambaran terang tentang dunia gelap kejahatan kemanusiaan.
Catatan sejarah saksi :
Menurut catatan RUMUNAWAR yang masuk gerbong pertama, jam 07.30 WIBB kereta bergerak menuju Surabaya. Suasana tersekap dalam panas, pengap dan gelapnya gerbong sudah terjadi walau saat itu masihlah pagi. Saat di Stasiun Taman, mulai terjadi peristiwa memilukan, satu persatu tahanan mulai ambruk. Kyai Samsuri 50 tahun, ambruk dan berteriak-teriak kepanasan digerbong pertama tersebut. Tanpa bisa bergulingan dan mendapatkan asupan udara segar apalagi makan dan minuman. Kepanikan yang membuat para tahanan lain terserang ketakutan akut dan anjlok kondisi psychis mereka. Para tahanan terus berteriak dan menggedor-gedor gerbong. Tapi teriakan mereka hanya dijawab dengan makian dan ancaman penembakan. Tak ada catatan apapun yang menceritakan adanya perilaku belas kasihan terhadap mereka.
Tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta
dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam gerbong dibawah terik
matahari. Dan baru ketika jam 10.30 WIBB kereta baru berangkat dari Jember menuju Probolinggo. Siang itu siapapun bisa membayangkan apa yang terjadi terhadap mereka yang berada dalam ruang plat baja. tanpa ada ventilasi membuat mereka kepanasan , didera kelaparan dan dehidrasi hebat, membuat lemah fisik dan mental mereka. Dan tragisnya sebagian dari mereka hanya bisa saling berbagi urine untuk tetap sadar dan mempertahankan hidup.
Sebelum stasiun Jatiroto, hujan cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk
meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat rembesan air yang berasal
dari lubang-lubang kecil bekas karat. Dan inilah catatan satu-satunya pertolongan bagi mereka yang masih hidup. Namun sungguh tidak demikian dengan mereka korban kemanusia`n dalam gerbong GR 10152, rakitan gerbong yang masih baru ini tak menyisakan lubang apapun. Tak meninggalkan rembesan air dan saksi hidup seorangpun didalamnya. semua tewas dengan sangat mengenaskan ketika sampai di Surabaya, tak ada rekam jejak selain tubuh mereka yang setengah matang. Tubuh dengan kulitnya yang mengelupas dimana-mana, tak ada yang tertinggal selain jenazah dengan kondisi penuh dengan bukti kebiadaban bangsa invader. Sekarang , cobalah lihat bagaimana bangsa mereka tanpa malu ikut getol berteriak tentang HAM sementara mereka sok buta dan tuli atas kejahatan mereka disini hingga tak tersentuh sama sekali. Tak ada pelipur lara sekedar berkata " ma'af " dari generasi ke generasi mereka, hingga generasi saat ini. Adakah ini watak ? simbol angkuh dan cermin bengis bangsa mereka ?? atau barangkali memang mereka generasi yang tak bernyali untuk menyesali sejarah kelam mereka disini, tentang gerbong penuh kejahatan kemanusiaan mereka. Semua tahu, bahwa semua ini bukanlah melodrama atau sebuah kejadian yang perlu dikategorikan sebagai sejarah kecelakaan belaka. Sekarang, ditengah kota kecil ini hanya ada monumen sederhana tentang kelakuan cacad bangsa penjajah seperti mereka. Kenangan pahit yang hanya meninggalkan kengerian luar biasa saat membayangkan manusia dalam gerbong meregang tegang ketika berhadapan dengan ajal. Mestinya putri mereka, Maxima datang kekota ini. Mereka-reka ulah para buyutnya doeloe, daripada cengar-cengir dijamuan makan malam eks bangsa jajahannya ini. Setidaknya, guide kita bisa ceritakan pada none ini tentang borok hitam bangsanya melalui sejarah rangkaian gerbong maut karya moyangnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Kereta api dengan rangkaian gerbong mautnya ini sampai di
Stasiun Wonokromo.
Pukul 20.00 WIBB, terdata di
gerbong pertama, GR 5769 sebanyak 5 orang kritis, 27 cedera dan dalam
kondisi lemas memprihatinkan.
Gerbong kedua, GR.4416 sebanyak 8 orang
meninggal, 6 orang sehat.
Dan di Gerbong GR. 10152 seluruh
tawanan berjumlah 38 orang tercatat " TEWAS ".
Evakuasi dilakukan oleh para tahanan yang masih hidup,dan kondisi jenazah mereka sangatlah memprihatinkan dengan kondisi tubuh melunak seperti terebus dalam air mendidih.
MASSOEHADI, (sekarang tinggal di RT 3/RW 1 Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo)
Termasuk salah satu dari 100 penumpang ‘gerbong maut’ dari Bondowoso
ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari
Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Belanda mengistilahkan
kekejamannya kala itu dengan istilah ‘aksi polisionil’.
Yakni, tindakan kepolisian untuk menertibkan para pelaku kejahatan.
“Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga
gerbong kereta api,” kenang pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 ini.
Tentara Belanda main tangkap saja dan siapa saja dirazia, terutama para
pemuda yang punya potensi memberontak. MAS SOEHADI, waktu itu berusia 20
tahunan dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso. Berikut penuturannya :
“Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada
penerangan, pengap sekali. Kalian bisa bayangkan apa yang
terjadi saat itu,” kata MAS SOEHADI. Menurut SOEHADI, keputusan mengurung 100 tawanan itu dilakukan untuk menghindari dan mengelabui intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu
gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel
kereta api.
" Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir
pasti gerilyawan tak akan tinggal diam, makanya hanya dibuka sebentar kemudian ditutup rapat sama sekali " tuturnya.
Satu per
satu tawanan, rekan SOEHADI, meninggal di dalam
gerbong. Sampai di Surabaya stasiun Wonokromo, diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, SOEHADI termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.
SOEHADI dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.)
Dua tahun lamanya, SOEHADI mendekam di dalam penjara tanpa pengadilan selain tuduhan memberontak. Padahal sejarah membuktikan bahwa Aksi Polisionil itu hanya akal-akalan Belanda untuk meredam aksi perjuangan membela
kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945.
Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27
November 1949, SOEHADI dan kawan-kawan dibebaskan.
“Saya masih
ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,” tuturnya.
Bahwa ia selamat, sementara 46 orang rekannya tewas di dalam gerbong
karena kehabisan oksigen, sudah menjadi hadiah tersendiri berupa mukjizat Illahi dalam
hidup. Baginya, tanda jasa atau cap veteran tak terlalu terpikirkan. Sebab sejatinya dapat bertahan hidup dalam siksaan dehidrasi, lapar dan kepanasan telah membuatnya yakin bahwa Allah SWT telah memberi rahmat usia dan hikmah begitu besar yang perlu disyukurinya sebagai hadiah istimewa yang cukup bila dibandingkan segala bentuk pengakuan bla bla bla dan penghargaan atas apa yang menimpa dirinya dan rekan-rekan dalam sebuah makna " VETERAN ".
Disini, sebuah hikmah bagiku adalah tentang Pahlawan akan tetap menjadi pahlawan bagi bangsa ini dan generasinya. Tanpa gelar dan bintang jasa sekalipun mereka tetaplah bagian dari catatan tinta emas sejarah bangsa, dan tentu keberadaan orang-orang seperti mereka yang menjadi korban tindakan kejahatan kemanusiaan adalah menjadi bukti sebuah sisi pigura hitam bagi para bangsa-bangsa penjajah bangsa dan negara ini. Mereka bisa menjadi amunisi hidup dengan bersaksi dan menjawab sekian banyak pertanyaan tentang kebenaran adanya kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM dan penindasan yang pernah dilakukan disudut negeri ini. Sebuah desain kontroversi dilema bagi republik yang beberapa waktu lalu begitu meriah menyambut kunjungan putri cinderella Maxima di istana negara.
Aku yakin, tuan presiden republik senyum lupa menyertakan bingkisan kado riwayat sejarah pada none bule ini. Padahal, putri Maxima tetaplah harus tahu dan menyadari bahwa kebijakan pemerintahnya dimasa lalu melalui militer bangsanya telah banyak bertindak tak bermoral, arogan dan keji dengan tindakan semena-mena melakukan kejahatan kemanusian dibanyak belahan bumi pertiwi, termasuk di kota kecil ini. Bilapun terlupakan, setidaknya tulisan ini bisa menjadi pengingat dan koreksi berupa kado istimewa baginya dan sejarah kerajaannya agar tak mengulang jembali tindakan hitam militer bangsanya dimasa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar