07 April 2012

" KADO KECIL PUTRI (CINDERELLA) MAXIMA "

Aksi penangkapan  militer Belanda terhadap anggota TRI, laskar, anggota jaringan gerakan bawah tanah dan sipil membuat  penjara Bondowoso tidak mampu lagi menampung tahanan yang pada waktu itu mencapai ±  637 orang. Dengan tanpa memperdulikan kondisi dan keselamatan para tahanan, militer Belanda berniat  memindahkan mereka ke penjara  Surabaya dengan menggunakan kereta api.
Rencananya setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pada awalnya pemindahan pertama dan kedua para tahanan masih diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanannya masyarakat dilarang mendekati gerbong. Dan inilah tinta darah sejarah dituliskan dengan pilu. Namun  dalam  sejarah akan mengukirnya dengan puisi bertinta emas, pengorbanan para pejuang bangsa sekaligus simbol kebiadaban militer Belanda pasca proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang seharusnya seluruh dunia tahu dan  membuat mata dan telinga dunia mestinya terbuka, bahwa kota kecil ini  telah memiliki catatan juga tentang kejahatan perang. Pelanggaran HAM dan pembantaian massal yang dilakukan oleh militer Belanda dan  hanya terkemas sederhana saat ini dalam tonggak monumen, " GERBONG MAUT ".

Kronologis :

Komandan  J . Van den Dorpe, Kepala Penjara   mengumpulkan semua tahanan yang telah tercatat namanya.  Pada hari  Sabtu, 23 November 1947, jam 04.00 WIBB, tahanan  dikumpulkan di depan penjara. Dengan rincian  sebagai berikut: anggota TRI (30 orang),  Laskar kerakyatan dan jaringan bawah tanah (30 orang), tahanan sipil dan polisi (20 orang), masyarakat desa (20 orang). Pada jam 05.30 WIBB tahanan  dibawa ke Stasiun Kereta Api Bondowoso. Rinciannya adalah  :
Gerbong GR 5769 berisi 32 orang ,gerbong GR 4416 berisi 30 orang dan  sisanya dimasukkan  dalam gerbong terakhir, rakitan baru GR 10152 dengan type lebih panjang. 
Kereta digandeng sekitar jam 07.00 WIBB saat kereta dari arah Situbondo datang. Pada saat itu juga rangkaian kereta maut itu diberangkatkan menuju penjara di Surabaya. Perjalanan yang lebih tepat disebut  sebuah sistem  pembantaian. Kebiadaban yang terangkai dalam epic kematian kolosal tak berperikemanusiaan. Gambaran terang  tentang dunia gelap kejahatan kemanusiaan.

Catatan sejarah saksi : 

Menurut catatan RUMUNAWAR yang masuk gerbong pertama,  jam 07.30 WIBB  kereta bergerak menuju Surabaya. Suasana tersekap dalam panas, pengap dan gelapnya gerbong sudah terjadi walau saat itu masihlah pagi. Saat di Stasiun Taman, mulai terjadi peristiwa memilukan, satu persatu tahanan mulai ambruk. Kyai Samsuri 50 tahun, ambruk dan berteriak-teriak kepanasan digerbong  pertama tersebut. Tanpa bisa bergulingan dan mendapatkan asupan udara segar apalagi makan dan minuman. Kepanikan yang membuat para tahanan lain terserang ketakutan akut dan anjlok kondisi psychis mereka. Para tahanan terus berteriak dan menggedor-gedor gerbong. Tapi teriakan mereka hanya dijawab dengan makian dan ancaman penembakan. Tak ada catatan apapun yang menceritakan adanya perilaku belas kasihan terhadap mereka.
Tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam gerbong dibawah terik matahari. Dan baru ketika  jam 10.30 WIBB kereta baru berangkat dari Jember menuju  Probolinggo. Siang itu siapapun bisa membayangkan apa yang terjadi terhadap mereka yang berada dalam ruang plat baja. tanpa  ada ventilasi membuat  mereka  kepanasan , didera kelaparan dan dehidrasi hebat, membuat lemah fisik dan mental mereka. Dan  tragisnya sebagian dari mereka hanya bisa saling berbagi urine untuk tetap sadar dan  mempertahankan hidup.
Sebelum stasiun Jatiroto,  hujan  cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat rembesan  air yang berasal dari lubang-lubang kecil bekas karat. Dan inilah catatan  satu-satunya pertolongan bagi mereka yang masih hidup. Namun sungguh tidak demikian dengan mereka korban kemanusia`n dalam gerbong GR 10152, rakitan gerbong yang masih baru ini tak menyisakan lubang apapun. Tak meninggalkan rembesan air dan saksi hidup seorangpun didalamnya. semua tewas dengan sangat mengenaskan ketika sampai di Surabaya, tak ada rekam jejak selain tubuh mereka yang setengah matang. Tubuh dengan  kulitnya yang  mengelupas dimana-mana, tak ada yang tertinggal  selain jenazah  dengan kondisi penuh dengan   bukti kebiadaban bangsa invader. Sekarang , cobalah lihat  bagaimana bangsa mereka tanpa malu  ikut getol berteriak tentang HAM  sementara  mereka sok buta dan tuli  atas  kejahatan mereka disini  hingga tak tersentuh sama sekali. Tak ada pelipur lara sekedar berkata " ma'af "  dari generasi ke generasi mereka, hingga generasi saat ini. Adakah ini watak ? simbol angkuh dan cermin bengis bangsa mereka ?? atau barangkali memang   mereka generasi yang tak bernyali untuk menyesali sejarah kelam mereka disini,  tentang gerbong  penuh kejahatan  kemanusiaan mereka. Semua tahu, bahwa semua ini bukanlah melodrama atau sebuah kejadian yang perlu dikategorikan sebagai sejarah  kecelakaan belaka. Sekarang,  ditengah kota kecil ini hanya ada monumen sederhana tentang kelakuan cacad bangsa penjajah seperti mereka. Kenangan pahit yang hanya meninggalkan kengerian luar biasa saat membayangkan manusia dalam gerbong meregang tegang ketika berhadapan dengan ajal. Mestinya putri mereka, Maxima datang kekota ini.  Mereka-reka ulah para buyutnya doeloe, daripada cengar-cengir dijamuan makan malam eks bangsa jajahannya ini. Setidaknya, guide kita  bisa ceritakan pada none ini tentang borok  hitam bangsanya melalui sejarah rangkaian gerbong maut karya moyangnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Kereta api dengan rangkaian gerbong mautnya ini sampai di Stasiun Wonokromo.
Pukul 20.00 WIBB, terdata  di gerbong pertama, GR 5769  sebanyak 5 orang kritis, 27 cedera dan dalam  kondisi lemas memprihatinkan.
Gerbong  kedua,  GR.4416 sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat. 
Dan di Gerbong  GR. 10152 seluruh tawanan berjumlah 38 orang tercatat " TEWAS ".
Evakuasi dilakukan oleh para tahanan yang masih hidup,dan  kondisi jenazah mereka sangatlah memprihatinkan dengan kondisi tubuh melunak seperti terebus dalam air mendidih.

MASSOEHADI, (sekarang tinggal di RT 3/RW 1 Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo) 
Termasuk salah satu dari 100 penumpang ‘gerbong maut’ dari Bondowoso
ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I  pada 21 Juli 1947. Belanda mengistilahkan  kekejamannya kala itu dengan istilah ‘aksi polisionil’.
Yakni, tindakan kepolisian untuk menertibkan para pelaku kejahatan.
“Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api,” kenang pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 ini.
Tentara Belanda main tangkap saja dan siapa saja dirazia, terutama para pemuda yang punya potensi memberontak. MAS SOEHADI, waktu itu berusia 20 tahunan dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso. Berikut penuturannya :
“Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan,  pengap sekali.  Kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu,” kata MAS SOEHADI. Menurut SOEHADI, keputusan  mengurung 100 tawanan itu dilakukan untuk menghindari  dan mengelabui intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api.
" Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam, makanya hanya dibuka sebentar  kemudian ditutup rapat sama sekali " tuturnya.
Satu per satu tawanan, rekan SOEHADI, meninggal di dalam gerbong. Sampai di Surabaya stasiun Wonokromo, diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, SOEHADI  termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.

SOEHADI dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, SOEHADI mendekam di dalam penjara tanpa pengadilan selain tuduhan memberontak.  Padahal sejarah membuktikan bahwa  Aksi Polisionil  itu hanya akal-akalan Belanda untuk meredam aksi perjuangan membela  kemerdekaan  bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945.
Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, SOEHADI dan kawan-kawan dibebaskan. 
“Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,” tuturnya.
Bahwa ia selamat, sementara  46 orang rekannya  tewas di dalam gerbong karena kehabisan oksigen, sudah menjadi hadiah tersendiri berupa mukjizat  Illahi  dalam hidup. Baginya, tanda jasa atau cap veteran tak terlalu terpikirkan. Sebab sejatinya dapat bertahan hidup dalam siksaan dehidrasi, lapar dan kepanasan  telah membuatnya  yakin bahwa Allah SWT telah memberi  rahmat  usia dan hikmah begitu besar yang perlu disyukurinya sebagai hadiah istimewa yang cukup bila dibandingkan segala  bentuk pengakuan bla bla bla dan penghargaan  atas apa yang menimpa dirinya dan rekan-rekan  dalam sebuah makna " VETERAN ".

Disini, sebuah hikmah  bagiku adalah tentang  Pahlawan akan tetap menjadi pahlawan bagi bangsa ini dan generasinya. Tanpa gelar dan bintang jasa  sekalipun mereka tetaplah bagian dari catatan tinta emas sejarah bangsa, dan tentu keberadaan orang-orang seperti mereka yang menjadi korban tindakan kejahatan kemanusiaan adalah menjadi  bukti sebuah  sisi pigura hitam bagi para bangsa-bangsa penjajah bangsa dan negara ini. Mereka bisa menjadi  amunisi hidup dengan bersaksi  dan  menjawab sekian banyak pertanyaan tentang kebenaran  adanya kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM dan  penindasan yang pernah dilakukan disudut negeri ini. Sebuah desain kontroversi dilema  bagi republik  yang beberapa waktu lalu begitu meriah menyambut kunjungan putri cinderella Maxima  di istana negara.
Aku yakin, tuan presiden republik senyum  lupa menyertakan bingkisan kado riwayat  sejarah  pada none bule ini. Padahal, putri Maxima tetaplah harus tahu dan  menyadari bahwa kebijakan pemerintahnya dimasa lalu melalui militer bangsanya telah banyak bertindak tak bermoral, arogan dan  keji  dengan  tindakan semena-mena melakukan kejahatan kemanusian dibanyak belahan bumi pertiwi, termasuk di kota kecil ini.  Bilapun terlupakan, setidaknya tulisan  ini bisa menjadi pengingat dan koreksi berupa kado istimewa  baginya dan  sejarah kerajaannya agar tak mengulang jembali   tindakan hitam militer bangsanya  dimasa mendatang.


" SENJOEMMOE  MEMBAWAKOE  TERLOEKA "


Tidak ada komentar:

Posting Komentar