Di Jepang pada setiap generasinya akan sangat ngotot berusaha mencari silsilah, sejarah dan kronologi keberadaan mereka pungkasnya. Alangkah jauh bila perbandingan itu diletakkan disini. Gaibnya, bukan sekali saja kejadian ini, Mr. Gerben noteboom dalam buku sebagai karya tulis untuk meraih gelar doktornya juga lebih memilih referensi dari literatur negaranya sendiri. Sebuah balai pustaka sejarah di Amsterdam yang banyak menyimpan jejak rekam tertulis berupa laporan atau catatan tentang daerah bekas jajahan mereka dulu. Lucu katanya, seolah penelitian itu justru lebih bersifat mencocokkan sejarah dan kebenaran eksistensi bangsanya didaerahku daripada ia benar-benar belajar kebudayaan masyarakat seperti tujuan penulisannya kala itu. Dari bule yang semua anak-anaknya lahir dikotaku inilah aku kemudian selalu mencatat apa yang diceritakan alm. kakek dan buyutku. Bahkan aku baru mengetahui dari catatanya tentang asal-usul desa-desa tertua dikaki pegunungan Argopuro berikut peta kunonya. Sungguh ironis bila aku bagian dari kota ini, tanah tumpah darahku dan keluarga namun tak bisa fasih bercerita tentang sejarah kota sendiri. Padahal bule ini dan teman-temannya begitu detail bertanya ini dan itu tentang segala asal muasal sejarah macam pernik benda, lokasi, kultur sosial budaya masyarakat. Jadinya sungguh miris bagiku, justru karena merekalah aku bertambah wawasan dan pengetahuan yang notabene berasal dari orang-orang yang ingin mengetahui sejarah dan budaya kotaku pada dasarnya. Pengalaman yang tak mungkin menimpa padaku saja sebagai warga lokal yang semestinya lebih peduli dan search terhadap sejarah tanah kelahiran. Tak mustahil semua akan bingung bila menghadapi turis manca dan mahasiswa asing yang ingin mengetahui sejarah dan budaya kota ini. Aku juga tak tahu waktu mereka bertanya bagaimana bisa mendapatkan sumber terpercaya waktu itu, aku harus merefrensikan pada dinas yang mana, orang yang mana lagi yang bisa bercerita lengkap sedetail sejarah kota ini tercatat di negara lain. Aneh rasanya, suatu sejarah dan budaya tersimpan dibenak dan memori bangsa lain, bukan dimasyarakatnya sendiri. Apakah kota ini akan terus kehilangan kulture dan budaya asli seperti halnya keberadaan, : Macapat, tari Ojung yang hampir tak tertera lagi diruang generasi muda ? Atau akan menyusul punah sama sekali seperti ikon masyarakat bondowoso ini "Aduan Sapi " ? Apa yang salah dari perjalanan kotaku ? Padahal aku rasa tetua kota, generasi muda dan ormas masih banyak disini, tak perlu rasanya kehilangan identitas diri hanya karena penyempitan makna budaya oleh karena kemunafikan sikap politik dan segelintir tokoh picik yang berpikir sok teu dengan tameng dan dalih agama. Rasanya kotaku dalam bayang-bayang orang cacad mental, kesurupan politik dan mengkambing hitamkan budaya sebagai biang kemudharatan dan kegagalan pembangunan masyarakatnya. Apakah budaya leluhur adalah aib masyarakat dan bangsa ini. Apakah tak sebaliknya, kaum picik inilah yang justru menghitamkan sejarah. Budaya telah dimerahkan, sejarah telah dihakimi dengan semena-mena, seolah ide dan karya para leluhur kota ini adalah barbar, jahiliyah dan jadah. Sungguh terlalu dan tak pantas orang-orang kecil hati ada menjadi bagian kota ini. Entah sampai kapan, kota ini tertidur dengan sebait label, " Kota tanpa Sejarah ", "Kota Bunian" dan sebutan minor lainnya. Pengetahuan dan keputusan picik mereka telah membungkam identitas masyarakat dan bangsa sendiri. Bandingkan dengan beberapa sejarah kota lain di negara ini atau kota-kota di seluruh dunia yang justru terus teguh melestarikan sejarah dan budayanya demi bukti dan eksistensi satu generasi kepada generasi penerus mereka kelak.. Kalaupun berubah maka tidak bermakna hilang ditelan bumi, tak terdata atau dalam code X file barangkali. Semua mestinya dipelajari, terus digali dan diteliti kebenarannya. Barangkali lebih bijak bila budaya lestari dan terus dikaji keberadaan dan dampaknya bagi kemaslahatan dan khasanah kekayaan budaya negeri ini tanpa harus mengatakan atau menyematkan kata " mudharat" atau " maksiat ". Tak pelak opini yang beredar bahwa sesungguhnya, kita telah memutus tali sejarah dan budaya atas kesahihan kota ini dengan tanpa pengadilan yang bijak akan sulit dipungkiri. Setidaknya bagiku saat ini justru memalukan tercatat ada dalam tataran budaya bangsa, bila sejatinya kebudayaan leluhur kota ini telah dikhianati serta dibunuh tanpa penghakiman dan moral sama sekali.
Meneruskan
langkah awalan pengkajian dan penelitian asal usul dan sejarah oleh
mantan bupati bondowoso, Bapak Mashoed Msi. maka melalui blog ini aku
juga coba mengcover dan merecovery data dari segala sumber informasi
dengan harapan bisa menjadi penambah wawasan, catatan dan pengetahuan
serta bisa menjadi pertimbangan bijaksana dalam kerangka pembangunan
kota bondowoso kedepan. Selebihnya hanyalah berupa klip, pengayaan
karya tulis dan bacaan yang telah ada sebelumnya serta diharapkan bisa
menjadi penambah ilmu pengetahuan bagi diri sendiri khususnya dan
khalayak pada umumnya . Berteguh pada,
" Sehitam apapun sejarah satu bangsa, maka tetaplah sinar benderang bagi generasi setelahnya ".
Dengan Bissmillah, maka inilah Bondowoso tertera apa adanya....
SEJARAH
Raden Bagus Assra,
anak Demang Walikromo pada masa pemerintahan Panembahan di bawah
Adikoro IV, menantu Tjakraningkat Bangkalan, sedangkan Demang
Walikoromo tak lain adalah putra Adikoro IV.
Pada tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. Pertempuran yang terjadi di desa Bulangan dan menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750 pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. Untuk pemulihan kekuasaan maka diangkatlah anak Adikoro IV, yakni RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya. Pada saat kondisi pemerintahan berada dalam masa-masa kritis inilah Raden Bagus Assra oleh neneknya, Nyi Sedabulangan mengikuti eksodus besar-besaran bersama bekas pengikut Adikoro IV ke Besuki. Assra kecil diasah kemampuannya setelah bertemu dengan Ki Patih Alus, seorang Patih Wiropuro yang kemudian dididik ilmu bela diri, agama dan pemerintahan.
Pada usia 17 tahun beliau diangkat sebagai Mantri Anom dengan nama Abhiseka Mas Astruno dan pada tahun 1789 mendapat tugas memperluas wilayah kekuasaan Besuki ke arah selatan, ditemukan catatan bahwa sebelumnya beliau telah menikah dengan putri Bupati Probolinggo. Pada tahun 1794 dalam usaha memperluas wilayah, ditemukan suatu daerah yang sangat strategis sebagai embrio daerah yang kelak disebut Bondowoso. Maka dengan diangkatnya beliau sebagai Demang di daerah yang baru maka beliau dianugerahi gelar bernama Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno.
Pada tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. Pertempuran yang terjadi di desa Bulangan dan menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750 pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. Untuk pemulihan kekuasaan maka diangkatlah anak Adikoro IV, yakni RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya. Pada saat kondisi pemerintahan berada dalam masa-masa kritis inilah Raden Bagus Assra oleh neneknya, Nyi Sedabulangan mengikuti eksodus besar-besaran bersama bekas pengikut Adikoro IV ke Besuki. Assra kecil diasah kemampuannya setelah bertemu dengan Ki Patih Alus, seorang Patih Wiropuro yang kemudian dididik ilmu bela diri, agama dan pemerintahan.
Pada usia 17 tahun beliau diangkat sebagai Mantri Anom dengan nama Abhiseka Mas Astruno dan pada tahun 1789 mendapat tugas memperluas wilayah kekuasaan Besuki ke arah selatan, ditemukan catatan bahwa sebelumnya beliau telah menikah dengan putri Bupati Probolinggo. Pada tahun 1794 dalam usaha memperluas wilayah, ditemukan suatu daerah yang sangat strategis sebagai embrio daerah yang kelak disebut Bondowoso. Maka dengan diangkatnya beliau sebagai Demang di daerah yang baru maka beliau dianugerahi gelar bernama Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno.
Demikianlah, dalam
tempo yang singkat Raden Bagus Assra berhasil mengembangkan Wilayah
Kota Bondowoso. Pada rentetan perjalanan perkembangan kademangan
tersebut, tercatat satu kejadian bersejarah tepatnya pada tanggal 17
Agustus 1819, tepat dihari selasa kliwon atau dalam kalender islam 25
Syawal 1234 H. Penguasa Besuki yakni R. Aryo Prawirodiningrat sebagai
orang
kuat dan pejabat kepercayaan Gubernur Hindia Belanda, dalam rangka
memantapkan strategi politiknya maka menjadikan wilayah Bondowoso
terlepas dari Besuki, dengan berstatus Keranggan Bondowoso sekaligus
mengangkat R. Bagus Assra
atau Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dan pimpinan
agama, dengan gelar M. NG. Kertonegoro dan berpredikat Ronggo I,
dengan ditandai penyerahan Tombak Tunggul Wulung.
Pada masa Beliau memerintah antara tahun 1819 - 1830 kekuasaannya telah meliputi wilayah Bondowoso dan Jember.
Pada masa Beliau memerintah antara tahun 1819 - 1830 kekuasaannya telah meliputi wilayah Bondowoso dan Jember.
Dan pada tahun 1854, tepatnya tanggal 11 Desember
1854 Kironggo wafat di Bondowoso dan dikebumikan di atas sebuah bukit kecil yang terletak di
Kelurahan Sekarputih, Kecamatan Tegalampel. Dan pada saat ini kemudian ditetapkan menjadi
Pemakaman keluarga Ki Ronggo Bondowoso.
(Sumber: Klip pribadi & Humas kabupaten Bondowoso)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar