07 Mei 2012

SUATU HARI TANPA HUJAN

Kalah itu seperti  pasrah terseret arus deras tanpa bisa kutolak  airnya yang tertelan olehku. Atau seperti perasaan  cinta padamu yang timbul tenggelam dalam pekatnya warna merah maroon luka atau  disebut berduka. Untuk secukupnya,   aku menyebutnya SALAH........ :-(
Namun terlalu naif bila ini semua membuatku terhenti dan tak melangkah lagi, sebab aku akan semakin salah dan mereka menyebutnya sebagai " KALAH ". Padahal aku lebih merasa nyaman dengan sebutan mengalah.  Sebab banyak hal yang masih pantas aku perjuangkan, patut aku usahakan dan masih bisa aku lakukan. Kalah dan salah bukan akhir dari segalanya, justru sebagian orang bijak menyebutnya adalah awal menuju kemenangan. Aku setuju, sebab yang merasa kalah tentu akan tahu penyebab kekalahannya, lebih bijak dan berhati-hati saat ingin meraih kesuksesannya tanpa harus terjebak lagi dalam salah. Meski mungkin cinta tak pernah menyediakan kategori kalah dan menang atau salah dan benar, tapi cintalah sebagai simbol pemenang tanpa mau disebut salah dan benarnya. Cinta juga yang menghakimi, menilai dan mendefinisikannya dalam kekalahan atau kemenangannya sendiri, meski salah dan benar menurut nilai pada  umumnya .......
Dan aku hujan terakhir yang kali ini kalah dalam salah makna cinta pada awal keberadaannya.......

Pantai, 23 maret kemarin

Tanpa secuil bintang dilangit, kita tersudut diambang malam. Diantara gemuruh ombak pantai yang menyulitkan tenang detak jantungku apalagi untuk mendengar jelas isak tangismu. Aku telah memulai keadaan ini dengan sulit........terasa amat sulit. 
" Mestinya kau tak pernah katakan ini sekarang rain...., keadaan ini akan membuatku tersudut pada pelukanmu....Yaah, saat aku sedekat ini denganmu " kalimat lemah yang kau ucap semakin membuat aku tak mampu berkata apapun selain diam dalam haru. Dan kau benar, aku meraihmu dalam pelukanku.
" Kenapa kau nyatakan cintamu ini setelah jalan persahabatan begitu paham dan baik aku mengartikan dan jalaninya ? "  setengah berbisik kau berkata. Darah ini berdesir manakala bibirmu telah menyentuh bawah telingaku.
" Ma'afkan aku ayy.....aku telah kecewakan kau dengan salah artikan semua... " tertatih-tatih suaraku terdengar. Jujur, sorot matanya yang terbalut airmata malam ini telah menciutkan nyaliku. Seolah aku menatap guratan amarah, sedih, luka atau kadang kecewa yang bergantian dengan rona bahagia. Bagaimana ini........?
" Kau lihat aku rain ? tatap aku sekarang ? tak terlihatkah olehmu usahaku selama ini...?? " guncangan  tanganmu dibahu ini telah nyaris kacaukan susunan pustaka rasa dihati. Oh Tuhan, pelan-pelan ayy kau guncang aku..., tak sadarkah bila dihati ini telah begitu indah tersusun huruf-huruf  kristal berbentuk namamu ayy ? Getarannya begitu terasa, sementara aku tak tahu penyangganya terbuat dari bahan apa ?
Aku hanya mengeluh saat kau bersandar kuat padaku, tak lagi kupahami detak nadi atau denyut jantungku. Aku seolah hanya menjadi patung  dalam kegelapan perasaan penuh bongkahan resah.
" Rain, setahun berlalu tanpa sedikitpun pemahamanmu pada rasaku....Kau kemana ?? Kau dimana rain saat aku gelisah ketika sesuap nasi terasa sesendok debu ?? Kau dimana saat aku gelisah karena tak mampu  pejamkan mata  tanpa membayangkanmu sekejap saja ?? Jawab rainnn.......!!? " Semakin jelas bila kau telah berurai air mata saat  isakmu terdengar diantara pecahan-pecahan air lautan pada tepi karang.
" Kau yang selalu menyeretku ketepian abu-abu, yang selalu membuatku berpikir bahwa persahabatan itu adalah takdir  yang begitu anggun dan indah, rain......
Aku berdarah-darah menangkis tiap rasaku padamu hanya karena aku takut kau kecewa karena aku telah  gagal mengartikan kedekatan  ini sebagai sahabat saja  tak lebih.... 
Aku yang tak ingin terjebak rasaku sendiri, meski gilanya.......aku tak bisa dustai adanya perasaan cinta luar biasa padamu rain....
Dan,  apa yang kudengar malam ini rain ?? ....Kau mencintaiku......
Kalimat yang pernah kutunggu-tunggu terucap darimu, hingga aku telah berhasil mengurung  namamu dari harapan sebagai kekasih  menjadi hanya sahabat saja....... "

Deretan kalimat  itu telah menerjangku ke gulungan ombak lautan dan  menghempas barisan karang. Hancur, berkeping-keping dalam kepekatan bayang ilusi. Sapu angin malam  menerpa wajah, terasa langsung membekukan saat menusuk sudut hati hingga menggumpal. Bodohnya aku, tak pernah menyadari cintanya padaku atau  memahami apa yang telah ia usahakan sebagai tanda cinta padaku selama ini. Kemanakah perasaanku hingga tak sadari isyarat selama ini ? Mengabaikan tiap inchi sinyal cintanya, asyik menikmati kebersamaan  seolah ia bukanlah sosok manusia tanpa jantung yang berbentuk cinta. Terjerembab aku dalam titik nadir, dalam irisan kecil sesal dan kecewa. Malam larut telah menyudutkan waktu berkata-kata hingga hanya bisu yang terpilih. Berlomba penat dalam bayangan andai dan jika yang kuat meraba-raba keadaan setelah ini. Kota Pidie di Aceh masihlah satu dua hari harus kujalani. Dan aku tak pernah mempersiapkan keadaan bisu dan kaku kami disepanjang perjalanan nanti. Aku kalah  dalam bilangan ganjil tak menggenapi argumen apapun hingga waktu istirahat perjalanan pulang kampung ini usai. Pasrah.......

2 April berikutnya di ilalang tanah rencong Pidie......

Berlarian aku diantara capung-capung senja di halaman belakang rumah tengku Hamdan, berupa padang ilalang bekas lapangan penampungan korban tsunami aceh. Genggamanku begitu erat pada secarik kertas dalam lipatan saputangan. Aku tak peduli selip-selip rumput tajam disela jari kaki menusuk perih. Semua demi mengetahui apa yang telah jadi keputusan diantara hati kami. Tersengal aku terhenti ditengah tanah lapang yang sedikit meninggi. Kuatur nafasku, dan terburu aku membuka lipatan saputangan berisi secarik suratmu ayy.......
" Rain........
Aku mencintaimu lebih dari sekedar apa yang ingin kau ketahui tentang rasa ini padamu. Tapi percayalah, kita telah melewatinya dengan sederhana. Tanpa cela dan noktah tinta duka secuilpun. Dan aku ingin mempertahankan ini dengan sempurna. Kau tahu rain.......??? Ini begitu membuatku sesak hingga tak pernah bisa aku hentikan airmata ini.....Kau cinta ini rain, kau yang terkasih dalam buliran sayangku.....tapi sungguh, aku tak ingin lebih dari apa yang kumampu lakukan. Saat cintaku telah kuajarkan bijak dalam tulus persahabatan, maka aku telah melewati sekian ribu siksa dan perasaan luka berjuta-juta. Dan aku berusaha tabah menerima dan menjalaninya.....hingga aku terima semua dengan satu kalimat tanpa syarat, Sahabat saja !......"
" Rain......
Bukan hujan namanya bila tak sanggup mencairkan disetiap sudut hati ini dengan senyum indahmu.... Kau begitu anggun sempurna memaknai tanda disetiap kata dan sikapmu hingga aku benar-benar yakin bila tiada tanda cinta selain dalam makna sahabat belaka......Aku belajar darimu, tentang indahnya hari dan kebersamaan tanpa helai asmara. Aku benar-benar tiada menduga, sama sepertimu rain........terlena dalam dogma pertemanan yang begitu akrab. Dan itu terjaga hingga semua terucap dipantai kemarin....Kau begitu  detail mengaduk neraca perasaan dijiwaku.....Kaulah penari hujan yang kukagumi, sempurna rain. Bahkan aku tak sadari bila ajakanmu kepantai malam itu untuk ungkapkan apa yang telah lama sebenarnya begitu ingin kudengar darimu, yahh kalimat cinta.....indah rasanya, tapi sungguh aku telah begitu gemilang berhasil menguburkannya. Aku telah memendam dalam impian ini rain......, sayang maafkan aku... "
" Rain, heyy...lihatlah aku tak bisa menghentikan isak tangisku.....(aku ingin tertawa rain, ganggu aku dengan godaan nakalmu, please..)
Azzam datang kemarin padaku, ia utarakan niatnya melamarku pada abi dan umik....Kau tau jawabku ? Tentu aku menolaknya rain, sangat menolaknya.....sebab bukan ia yang kucinta selama ini.  Tentu bukan dia yang telah kuharap mendampingiku hingga akhir usia, tak satupun selain engkau rain.....tak satupun.....tapi aku hanya sanggup menolaknya didasar hati. Aku hanya sanggup berteriak tidak kuat-kuat dihati ini, tapi tak bisa kutampakkan pada bibir ini. Lidahku justru mengatakan iya, kepalaku justru mengangguk rain. Ragaku telah menerimanya, dan aku telah terkeping-keping menjadi serpihan debu seperti kristal yang kubaca dihatimu telah berantakan berceceran.....maafkan aku cinta sejati, aku tak paham lagi isyarat ini. Dan seperti tanganku yang telah terhenti tanpa sanggup menulis apa-apa lagi..... "

(Love You Rain, 4ever in 1)

4 April, pelabuhan Bakauhuni.....

Tujuanku hanya kota kecil tempat aku dibesarkan, menjauh undur dari daratan Andalas. Udara panas menjelang siang menumpukkan sel-sel kerumitan diotakku. Di buritan kapal ferry ini aku menatap arahmu, nun jauh disana dalam balut suasana bahagia. Kau bersama keluarga besarmu ayy, dalam acara ritual adat pinangan si Azzam. Sementara aku disini, sesaat lagi telah semakin jauh dalam laju angin berlawanan arah denganmu. Dan tepat ditengah selat ini, biarlah saputangan bersama suratmu tetap tak terbaca siapapun tertelan debur ombak yang menghantam dinding kapal. Pergilah ayy dalam lingkaran sakral bersamanya, berbahagialah.....inilah suratan sebenarnya. Dan aku telah merelakan semua dalam belai lautan hingga terhapus semua dalam ombang-ambing riak ombak. Barangkali, kerang laut lebih bisa membuatnya sebagai mutiara kenangan terindah. Atau karang laut lebih bisa melumatnya daripada dihati ini  yang susah bergetah tanpa warna merah. Aku akan bisa terbiasa, tanpa kental canda tawa yang merayu kebersamaan. Kaulah sejatinya cintaku yang akan terus menjadi indah dalam ikatan sahabat, dan  aku enggan mengenangmu dalam irama cinta yang kadang rentan dan bermakna samar. Kau benar, barangkali aku hanya hujan. Meski mungkin kau salah karena aku bukan penari hujan yang lihai dan handal. salam.........