25 Maret 2012

Tepian MAHAKAM

Dean.....
Ternyata temalinya masihlah kukuh.....
Bantalannya juga nampak tak berubah....
Hanya juntai pohon aranya saja yang nampak semakin rimbun....
Tentu sulit bila kita hendak berayun ketengahan sungai.....
Tentu tak bisa lagi menghindari cubitanmu....
Godaanmu....

Atau hindari cemberutmu...
Sungainya nampak mulai dangkal....
Penuh sampah dan galian pasir.....
Gagak dirimbunan bambu diseberang juga  tak nampak lagi.....
Duh, tak mungkin senikmat dulu....
Meski aku telah menikmatimu setiap waktu saat ini....
Tak mungkin seindah awal kecupan kita saat itu...
Kita selalu bisa hipnotis tepian ini....
Dean.....
Bagaimana ini ?
Kita tak akan ada bukti pada Thalita.....
Tentang negeri kecil penuh dengan kastil pasir.....
Tentang mandi matahari.....
Tentang gurihnya ikan bakar dengan bumbu yang biasa kau bawa......
Ahh....seperti hendak tak bisa kularung kecewa ini....
Dean....
Geliat negeri membuat poranda tatanan alam......
Tetangga kita telah banyak tak peduli tentang senja ditepian ini.....
Semua bangga mengeksploitasi....
Merampas negeri kita juga tanpa peduli memori...
Aku telah memotretnya, dengan sudut yang paling sempurna kucoba...
Hasilnya tak akan menggetarkanmu.....
Hasilnya tak akan membuat takjub lagi.....
Tapi inilah adanya...
Negeri ini telah banyak berubah sayang.....
Tak lagi bisa menyisakan selain sampah dan rongsokan....
Bahkan, diujung dekat kelokan nampak gubuk-gubuk liar....
Seorang aki nampak duduk diatas jamban....
Oh Dean....
Benar-benar tak lagi banyak sudut indah disini...
Yakinlah, saat Thalita besar nanti tentu tak akan percaya ceritamu lagi....
Tentang menara yang diujungnya terkunci seorang peri....
Disebuah tepian negeri dikelilingi kastil pasir kali.....
Aku ragu, Thalita akan mendengar cerita kita lagi......
Aku ragu sayang......

Senja temaram, sudah tak indah lagi disini.....










(Negeri Tanpa Asuransi, rainnesance setelah 99)